dalam forum Bahtsul Masail oleh para kyai Ahli Thariqah. Sebagian mereka berpendapat bahwa yg pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yg lain mengatakan bahwa yg menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad...
Rotib tahlil mempunyai ciri ciri husus,yang saya tahu tahlil diatas ciri has thoriqoh qodriyah dan naqsabandi..
Kesimpulan saya pengarang susunan tahlil bukan dari nabi,namun sumber/asalnya dari nabi (lihat hadist2 yang menerangkan tentang keutamaan tahlil)
Namun yang mengarang tahlil adalah ulamak/mursyid thoriqoh tertentu sehingga ragamnya/bentuk tahlilnya pun beda2 ,tergantung siapa yang menyusun..
Hadist pendukung...
Syarah bukhory
ﻗﺎﻝ اﻟﻤﺆﻟﻒ: ﺭﻭﻯ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ - ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ: (ﺃﻓﻀﻞ اﻟﺬﻛﺮ اﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ، ﻭﺃﻓﻀﻞ اﻟﺪﻋﺎء اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ) ﻭﻗﺎﻝ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ -: (ﺃﻓﻀﻞ ﻣﺎ ﻗﻠﺖ ﺃﻧﺎ ﻭاﻟﻨﺒﻴﻮﻥ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻰ: ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ) . ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ: ﺇﻧﻪ اﺳﻢ اﻟﻠﻪ اﻷﻋﻈﻢ، ﻭﺫﻛﺮ اﻟﻄﺒﺮﻯ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﻋﺮﻭﺑﺔ، ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺑﺎﺑﺎﻩ اﻟﻤﻜﻰ،
Sunan ibnu majah
3800 - ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ اﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﺑﻦ ﺑﺸﻴﺮ ﺑﻦ اﻟﻔﺎﻛﻪ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﻃﻠﺤﺔ ﺑﻦ ﺧﺮاﺵ اﺑﻦ ﻋﻢ، ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﻳﻘﻮﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: «§ﺃﻓﻀﻞ اﻟﺬﻛﺮ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ، ﻭﺃﻓﻀﻞ اﻟﺪﻋﺎء اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ»
Kitab hilyatul auliyaa'
ﻭﻣﺤﻞ ﻗﻠﻮﺏ اﻟﺬاﻛﺮﻳﻦ ﻣﺘﻔﺎﻭﺗﺔ، ﻓﺄﺻﻞ اﻟﺬﻛﺮ ﺇﺟﺎﺑﺔ اﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ اﻟﻠﻮاﺯﻡ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ: «ﻣﻦ ﺃﻃﺎﻉ اﻟﻠﻪ ﻓﻘﺪ ﺫﻛﺮ اﻟﻠﻪ، ﻭﺇﻥ ﻗﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ ﻭﺻﻴﺎﻣﻪ ﻭﺗﻼﻭﺗﻪ»، ﺛﻢ ﻳﻨﻘﺴﻢ اﻟﺬﻛﺮ ﻗﺴﻤﻴﻦ: ﻇﺎﻫﺮ ﻭﺑﺎﻃﻦ ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻈﺎﻫﺮ ﻓﺎﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻤﺠﻴﺪ ﻭﺗﻼﻭﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺒﺎﻃﻦ ﻓﺘﻨﺒﻴﻪ اﻟﻘﻠﻮﺏ ﻋﻠﻰ ﺷﺮاﺋﻂ اﻟﺘﻴﻘﻆ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﻠﻪ ﻭﺃﺳﻤﺎﺋﻪ ﻭﺻﻔﺎﺗﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻓﻌﺎﻟﻪ، ﻭﻧﺸﺮ ﺇﺣﺴﺎﻧﻪ ﻭﺇﻣﻀﺎء ﺗﺪﺑﻴﺮﻩ ﻭﻧﻔﺎﺫ ﺗﻘﺪﻳﺮﻩ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﺧﻠﻘﻪ ﺛﻢ ﻳﻘﻊ ﺗﺮﺗﻴﺐ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺪاﺭ اﻟﺬاﻛﺮﻳﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺫﻛﺮ اﻟﺨﺎﺋﻔﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺪاﺭ ﻗﻮاﺭﻉ اﻟﻮﻋﻴﺪ ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺮاﺟﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ اﺳﺘﺒﺎﻥ ﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﻮﻋﺪﻩ، ﻭﺫﻛﺮ اﻟﻤﺠﺘﻨﺒﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺗﺼﻔﺢ اﻟﻨﻘﺒﺎء، ﻭﺫﻛﺮ اﻟﻤﺮاﻗﺒﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻃﻼﻉ اﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻬﻢ، ﻭﺫﻛﺮ اﻟﻤﺘﻮﻛﻠﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ اﻧﻜﺸﻒ ﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﻛﻔﺎﻳﺔ اﻟﻜﺎﻓﻲ ﻟﻬﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻳﻄﻮﻝ ﺫﻛﺮﻩ ﻭﻳﻜﺜﺮ ﺷﺮﺣﻪ، ﻓﺬﻛﺮ اﻟﻠﻪ ﻣﻨﻔﺮﺩ ﻭﻫﻮ ﺫﻛﺮ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺑﺎﻧﻔﺮاﺩ ﺃﺣﺪﻳﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺬﻛﻮﺭ ﺳﻮاﻩ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: «ﻣﻦ ﺫﻛﺮﻧﻲ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ»، ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ ﺇﻓﺮاﺩ اﻟﻨﻄﻖ ﺑﺄﻟﻮﻫﻴﺘﻪ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ: «ﺃﻓﻀﻞ اﻟﺬﻛﺮ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ» ﻗﺎﻝ اﻟﺸﻴﺦ: ﺳﺄﻟﺘﻢ ﻋﻦ ﺇﻳﺪاﻉ ﺫﻛﺮ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﻧﺴﺎﻙ ﺑﻠﺪﻧﺎ ﻭﻋﺒﺎﺩﻫﻢ ﻟﻴﻜﻮﻥ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﺨﺘﻮﻣﺎ ﺑﺬﻛﺮﻫﻢ، ﻭﻧﺸﺮ ﺃﺣﻮاﻟﻬﻢ، ﻭاﻋﻠﻤﻮا ﺃﻥ ﻃﺮﻳﻘﺔ اﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻴﻦ ﻣﻦ ﻧﺴﺎﻙ ﺑﻠﺪﻧﺎ اﻟﻘﺪﻭﺓ ﻭاﻻﺗﺒﺎﻉ ﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻴﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭاﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﺬﻳﻦ ﻟﺤﻘﻮا اﻷﺋﻤﺔ ﻭاﻷﻋﻼﻡ، ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮﺕ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻨﺎ ﺑﻄﺒﻘﺎﺕ اﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﻭاﺓ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻧﺎ: ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ اﻟﻤﻌﺪاﻧﻲ اﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻌﺮﻭﺱ اﻟﺰﻫﺎﺩ
Jumat, 28 Oktober 2016
Rabu, 26 Oktober 2016
Metode Istinbath Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi Manaf), “seseorang selamanya tidak boleh menetapkan hukum halal-haram kecuali berdasarkan ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas”. Imam Syâfi’i, melalui kitab Ar-Risalah, mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi khazanah keilmuan Islam, yaitu ushul fiqih. Ilmu ini memberikan panduan ijtihad bagi seseorang untuk mengambil hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.
Metode istinbath Imam Syafi’i akan diuraikan secara ringkas, sebagai panduan untuk mengambil hukum dari semua perkara yang berada di ranah ijithadi.
Bayan Ilahy
Langkah awal dalam proses istinbathul ahkam(pengambilan hukum), menurut Imam Syafi’i, adalah mendatangkan al-bayan (keterangan). Untuk mengetahui dan menetapkan hukum sesuatu, keterangan pertama yang harus diperoleh adalah keterangan firman Allah (bayan ilahy). Keterangan firman dalam ayat Al-Qur’an harus diketahui karakteristiknya, karena ayat Al-Qur’an tidak satu jenis. Ada ayat muhkam (pasti), ada ayatmutasyabih (samar). Ada ayat ‘am (universal), ada ayatkhas (partikular). Selain itu terdapat juga ayat nasikh (yang menghapus), ayat mansukh (dihapus). Ada ayat muthlaq(tak bersyarat/unconditional), ada ayat muqayyad(bersyarat/conditional). Ada ayat haqiqi (denotatif), ada ayat majazi (metaforis), dst. Pengetahuan tentang jenis-jenis ayat Al-Qur’an penting agar seseorang tidak salah baca dalam memahami ayat. Karena itu, tidak benar seseorang menetapkan hukum hanya dari sepenggal ayat tanpa memahami jenisnya, dan tanpa melihat munasabah(pertaliannya) dengan ayat-ayat lain.
Karakteristik Ayat-ayat Al-Qur’an
Saya tidak akan menjelaskan rinci, tetapi bagi yang tertarik memahami karakteristik ayat-ayat Al-Qur’an, direkomendasikan untuk membaca kitab al-Itqan fî Ulumil Qur’an, karya Jalaluddin as-Suyuthi. Namun, biar jelas, akan diberikan beberapa contoh.
Para ulama berselisih pendapat tentang ayat-ayat muhkamdan mutasyabih. Ayat muhkam biasanya berhubungan dengan ushulul aqidah (pokok-pokok tauhid dan keimanan) dan usuhulus syariah (prinsip hukum terkait perintah dan larangan). Contoh ayat muhkam: “Allahu khaliqu kulli sya’in wa huwa ‘ala kulli sya’in wakil (QS. Al-Zumar/39: 62): “Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” Contoh lain, “Yâ ayyuhan nasu’ budu rabbakumul ladzi khalaqakum wal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun” (QS. Al-Baqarah/2: 21): “Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”Ayat yang menjelaskan keesaan Allah, yaitu QS. Al-Ikhlas (112: 1-4), muhkam, tanpa kesamaran sedikit pun. Begitu juga ayat-ayat yang menerangkan kewajiban pokok agama seperti salat, zakat, puasa, dan haji semuanya muhkam.
Sementara ayat mutasyabih terbagi 3 (tiga), yaitu: Pertama,mutasyabi dari segi lafal saja, seumpama lafal-lafal gharib(asing) seperti Abb (QS. Abasa/80: 31), Abariq (QS. Al-Waqi’ah/56: 18), dst. Ayat-ayat musytarak (wayuh arti) seperti yad (tangan/kekuasaan) dan yamin(kanan/sumpah). Juga huruf-huruf awal surat seperti Alif Lam Mim, Kaf Ha Ya Ain Shad, Ali Lam Ra, dst. Kedua,mutasyabih dari segi makna saja seperti sifat-sifat Allah dan hari kiamat, umpama ayat “ar-Rahmanu ‘alal arsyi-stawa,” (QS. Thaha/20: 5): “Tuhan yang Maha Pengasih bersemayam di atas arasy.” Contoh lain, “Wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram” (QS. Ar-Rahman/55: 27): “Dan wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” Juga ayat, “Yadullah fawqa aydihim” (QS. Al-Fath/48: 10): “Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka,” dst. Ketiga, mutasyabih dari segi lafal dan makna seperti ayat, “wa laysal birru bian ta’tul buyuta min dhuhuriha wa lakinna-l birra man-ittaqa (QS. Al-Baqarah/2: 189): “Dan bukanlah suatu kebaikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebaikan adalah orang yang bertakwa.” Contoh lain ayat, “innama-n nasi’u ziyadatun fil kufr (QS. At-Tawbah/9: 37): “Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran.” Dua ayat ini tidak bisa dipahami tanpa wawasan tentang adat Arab jahiliyah dan konteks situasional.
Jenis kedua adalah ayat ‘am (universal) dan khas(partikular), terbagi ke dalam beberapa jenis. Pertama, ayat‘am dan memang dimaksud ‘am, seperti Innallaha ya’muru bil adli wal ihsan wa iyta’i dzil qurba wa yanha anil fakhsya’i wal munkari wal baghy (QS. An-Nahl/16:90): “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil dan berbuat kebaikan dan membantu kerabat dan Dia melarang perbuatan keji dan munkar dan permusuhan.”
Kedua, ayat ‘am dimaksudkan ‘am tetapi terdapat takhsis(pengecualian) seperti ayat “Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram” (QS. Al-Baqarah/2: 150): “Dan dari mana pun engkau keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.” Ayat ini di-takhsisdengan ayat “Fa in khiftum fa rijâlan aw rukbânan” (QS. Al-Baqarah/2: 239): “Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” Maksudnya, hukum menghadap kiblat wajib dan berlaku umum, tetapi dikecualikan saat takut serangan musuh (boleh menghadap kemana saja). Contoh lain, “Innallah yaghfirudz dzunuba jami’a” (QS. Az-Zumar/39: 53): “Sungguh Allah mengampuni seluruh dosa semuanya.”Ayat ini di-takhsisdengan ayat, “Innallih la yaghfiru ay yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’ (QS. An-Nisa’/4: 48 dan 116): “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukanNya dan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” Maksudnya, semua dosa diampuni, kecuali syirik.
Ada juga ayat ‘am yang di-takhsis dengan hadits, seperti ayat “Hurrimat alaikumul maytatu wa-d damu wa lahmul khinzir” (QS. Al-Ma’idah/6: 3): “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” dan “Innama harrama ‘alaikumul maytata wa-d dama wa lahma khinzir” (QS. Al-Baqarah/2: 173): “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” Dua ayat ini di-takhsis dengan hadits Nabi, “Uhillat lana maytatani wa damani, as-samak wal jarad wal-kabidu wat thihal” (HR Ahmad, Ibn Majah, dan Daruquthni): “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu ikan dan belalang dan hati dan limpa.” Maksudnya, ada bangkai dan darah yang dihalalkan yaitu ikan dan belalang, hati dan limpa. Ada juga ayat, “Wa-s sariqu was sariqatu faqtha’u aydiyahuma jaza’an bima kasaba nakalan minallah” (QS. Al-Ma’idah/5: 38): “Dan terhadap pencuri laki-laki dan wanita, potonglah kedua tangannya sebagai balasan atas perbuatannya dan sebagai siksaan dari Allah.” Ayat ini di-takhsis dengan hadits “La taqtha’ yada-s sâriqi illa fi rub’i dinar fa sha’idan” (Muttafaqun alaih): “Jangan potong tangan pencuri kecuali (curiannya) senilai seperempat dinar ke atas.” Maksudnya, tidak semua hukum mencuri adalah potong tangan, tergantung kadarnya. Ada juga ayat “Yushikumullah fi awladikum lid dzakari mitslu haddzil untsayain” (QS. An-Nisa’/4: 11 dan 172): “Allah mensyariatkan bagimu bagian waris laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” Ayat ini di-takhsis dengan hadits, “Laysa lil qatil minal mirats syai’un” (HR. Abu Dawud & Bayhaqy): “Tidak ada sedikit pun bagian waris untuk seorang pembunuh,” dan hadits “La yaristsul kafiru-l muslima wala-l muslimu-l kafira” (HR.Bukhari-Muslim) “Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan orang Islam tidak bisa mewarisi orang kafir.” Maksudnya, meskipun anak kandung, dia terhalang mendapat warisan jika membunuh dan beda agama dengan orang tuanya.
Ketiga, ayat ‘am, tetapi yang dimaksud khas, seperti ayat “Alldzina qala lahumun nas innan nas qad jam’au lakum fakhsyauhum wa zadahum imana” (QS. Alu Imrân/3: 173).Nas artinya manusia, redaksinya umum (digunakan untuk banyak orang), tetapi di ayat ini maksudnya hanya satu orang, yaitu Nu’aym ibn Mas’ud al-Asyja’i. Ayat lain “Am yahsudunan nas ‘alâ maatahumullahu min fadhlih (QS. An-Nisâ’/4: 54). Nas yang dimaksud di ayat ini juga satu orang, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Keempat, ayat khas dan memang dimaksudkan khas, seperti ayat, “Ya nisa’an nabiyy lastunna ka ahadin minan nisa” (QS. Al-Ahzab/33: 32) danayat, “Wa ma lakum an tu’dzu rasulallahi wa la an tankihu azwajahu min ba’dihi abada (QS. Al-Ahzab/33: 53). Dua ayat ini menjelaskan kekhususan istri-istri Nabi dan tidak berlaku umum, yaitu larangan menikah dengan pria lain selepas ditinggal Nabi. Ayat lain, “Wa minal layli fa tahajjad bihi nafilatan laka” (QS. Al-Isra’/17: 79) dan ayat, “Wamra’atan mu’minatan in wahabat nafsaha lin nabiy in aradan nabiyyu ay yastinkaha khalisatan laka min dunil mu’minin” (QS. Al-Ahzab/33: 50). Dua ayat ini menjelaskan kekhususuan Nabi dan tidak berlaku umum, mencakup kewajiban dan hak. Kewajibannya, salat tahajud wajib hukumnya bagi Nabi. Haknya, Nabi boleh menikahi lebih dari empat wanita.
Kelima, ayat khas, tetapi dimaksudkan ‘am, seperti ayat-ayat berikut: “Fa idza qara’tal qur’ana fastaidz billah” (QS. An-Nahl/16l: 98); “Wa idza kunta fîhim fa aqamta lahumus shalata” (QS. An-Nisa’/4: 102); “Khudz min amwalihim shadaqatan tuthohhiruhum wa tuzakkihim” (QS. At-Tawbah/9: 60); “Ya ayyuhan nabiyyut taqillah” (QS. Al-Ahzab/ 33: 1). Dalam empat ayat ini, khitab-nya mufrad(hanya untuk Nabi), tetapi isinya berlaku umum.
Jenis ketiga adalah ayat nasikh-mansukh, terbagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: Pertama, naskhut tilawah wal hukmi(teks dan hukumnya dihapus semua). Contoh, riwayat A’isyah tentang jumlah susuan yang berdampak kepada garis darah, sebelumnya berbunyi, “asyru radha’at ma’lumat” (sepuluh susuan), tetapi kemudian di-nasakhdengan “khamsin ma’lumat” (lima susuan). Teks dan hukumnya dihapus semua. Kedua, naskhul hukm dunat tilawah (hukumnya dihapus, teksnya tidak). Contoh, ayat “wa ala-l ladzina yuthiqunahu fidyatun” (QS. Al-Baqarah/2: 184), di-nasakh dengan ayat sesudahnya, “Fa man syahida minkumus syahra fal yashumhu” (QS. Al-Baqarah/2: 185). Mufassir menyebut, hukum puasa Ramadlan sebelumnya opsional, antara puasa atau membayar fidyah. Setelah itu hukumnya wajib bagi semua, kecuali bagi orang sakit dan bepergian. Ayat lain, “Ittaqullah haqqa tuqatih” (QS. Ali Imran/3: 102): “Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa,” di-nasakh dengan ayat, “Fattaqullah ma-statha’tum” (QS. At-Taghabun/64: 16): “Bertakwalah kamu kepada Allah semampumu.”
Contoh lain ayat, “La taqrabu-s shalata wa antum sukara hatta taqulu ma la ta’lamun (QS. An-Nisa’/4: 43),” di-nasakhdengan ayat, “Innamal khamru wal maysiru wal anshabu wal azlamu rijsun min amalis syaithâni fajtanibuhu (QS. An-Nisa’/4: 43). Hukum arak sebelumnya halal (QS. Al-Baqarah/2: 219), kemudian haram ketika shalat (di luar shalat tidak haram), kemudian haram dalam semua kondisi. Ketiga, naskhut tilawah dunalhukm (teksnya dihapus, tetapi hukumnya tetap). Contoh, diriwayatkan Aisyah sebelumnya terdapat ayat berbunyi, “idza zana al-syaikhu was syaikhatu farjumûhuma al-battata nakalan minallahi wallahu ‘azizun hakim.” (Jika laki-laki dan perempuan tua/sudah menikah berzina, maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana). Teks ayat ini terhapus, tetapi hukum zina muhshan (orang yang sudah menikah) tetap berlaku.
Jenis keempat adalah ayat muthlaq dan muqayyad.Muthlaq adalah ayat yang berlaku mutlak tanpa syarat, sementara muqayyad sebaliknya. Contoh ayat muthlaq danmuqayyad, “Ya ayyuhal ladzina amanu athiullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa/4: 59): “Hai orang-orang yang beriman, taatillah Allah dan taatilah rasul-Nya dan pemegang kekuasaan diantara kamu.” Taat kepada Allah dan rasul-Nya mutlak, tanpa syarat, tetapi kepada pemimpin politik muqayyad (bersyarat). Dari mana kita tahu bahwa ketaatan kepada pemimpin politikmuqayyad? Dari hadits Nabi, “’Alal mar’il muslim as-sam’u wa-t tha’atu fîma ahabba wa kariha illa an yu’mara bi ma’shiyyatin. Fa in umira bi ma’shiyyatin fa la sam’a wa la tha’ata (HR. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Wujubi Thu’atil Umara’ fî ghairi Ma’shiyyatin wa Tahrimiha fil Ma’shiyyat): “Wajib bagi setiap Muslim taat dan patuh (kepada pemimpin) baik senang maupun tidak. Jika diperintah kepada kemaksiatan, tidak ada kewajiban taat dan patuh.”
Jenis kelima adalah ayat haqiqi dan majazi. Haqiqia dalah ayat di dalam Al-Qur’an dengan lafal tersurat dan tidak menunjuk makna lain. Sementara majazi adalah ayat yang tidak bisa dipahami langsung tanpa ta’wil karena bersifat kiasan. Contoh ayat majazi: “Wa huwa ma’akum ainamâ kuntum” (QS. Al-Hadid/57: 4): “Dan dia menyertaimu di mana pun kamu berada.” Ayat lain, “Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warid” (QS. Qaf/50: 16): “Dan Kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya.” Ayat lain, “wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan shaffan” (QS. Al-Fajr/89: 22): “Dan datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris.” Sifat Allah dan kedekatannya kepada manusia tidak bisa dipahami secara harfiah, tetapi harus di-ta’wil.
Ada juga jenis ayat manthuq dan mafhum. Manthuq adalah ayat yang maknanya tersurat di dalam dhahir lafal, sementara mafhum maknanya tersirat di luar lafal.Mafhum terbagi 2 (dua), muwafaqah (maknanya sejalan) dan mukhalafah (maknanya sebaliknya). Mafhummuwafaqah terbagi 2 (dua), fahwal khithab dan lahnal khitab. Contoh mafhummuwafaqahfahwalkhithab, “Fala taqul lahumâ uffin” (QS. Al-Isra’/17: 23): “Jangan kamu berkata “hus” kepada keduanya.” Mafhumnya, tidak boleh memukul, menendang, dan perbuatan lain yang menyakitkan. Dalam kategori qiyas, disebut awlawi (illat di dalam pokok [berkata ‘hus’], lebih rendah ketimbang illat di dalam cabang [memukul, menendang, dst]). Contohmafhummuwafaqahfahwalkhithab: “Innal ladzina ya’kuluna amwalal yatama dhulman…” (QS. An-Nisa’/4: 10): “Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya…” Mafhum-nya, tidak boleh membakar, menghilangkan, melenyapkan, menenggelamkan, dst. Dalam kategori qiyas, disebut musawi (illat di dalam pokok [makan], sama tinggi denganillat di dalam cabang [membakar, menenggelamkan, dst]).
Umar ibn Khattab adalah bapak ijtihad yang berani keluar dari tekstualitas manthuq, menuju kontekstualitasmafhum. Ijtihad Umar yang terkenal, yang sekilas menyelisihi teks adalah terkait dengan penghapusan kategori mu’allaf dalam mustahiq zakat, penolakan Umar terkait pembagian fay berupa tanah pertanian di Syam, Irak, Mesir, dan Persia, dan moratorium had potong tangan bagi pencuri di musim paceklik (maja’ah). (Lihat, Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibn al-Khattâb fi al-Tasyrî (Cairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1970).
Contoh-contoh jenis ayat Al-Qur’an diungkapkan untuk menunjukkan gaya bahasa Al-Qur’an yang berimplikasi terhadap kedudukannya dalam pengambilan dalil. Tanpa mengenal dan memahami karakteristik ayat, seorang mujtahid dapat terjatuh dalam kesalahan, karena misalnya, berhujjah dengan dalil yang sudah di-nasakh atau menghukumi ‘am padahal khas, meyakini muthlaq padahalmuqayyad, menganggap muhkam padahal mutasyabih. Metode bayan yang dipelopori Imam Syafi’i, yaitu mendatangkan keterangan firman dengan mengenali jenis-jenis ayatnya, sangat esensial dalam proses penggalian hukum. Jika suatu perkara termaktub jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya. Tetapi jika tidak tersebut atau tersebut tetapi samar, maka bayanberikutnya yang harus didatangkan adalah sunah Nabi, baik yang berujud ucapan (qawlan), perbuatan (fi’lan), maupun penetapan (taqririyyan).
Senin, 24 Oktober 2016
SEJARAH ROSUL PINDAH KE KOTA YASTRIB
Nabi Muhammad hijrah ke kota yastrib kenapa dikatakan kota yastrib Karena yg pertama membangun kota itu nama Yastrib bin laud bin amlik bin sam bin nuh. Rosulullah mendapati masyarakat yang majemuk,yang plural, ada yg sekelompok beragama islam pendatang namanya muhajirin didalam alquran diterangkan karakter muhajirin “LIL FUQORO’I MUHAJIRIN ALLADZINA UKHIRIJU MIN DIARIHIM WA AMWALIHIM YABTAQU FADHLAM MINALLAHI WARIDWANA WAYANSURUNALLAHA WARASULLAH ULAA IKA HUMU SHODIQUN”. Orang2 muhajirin adalah orang2 fakir miskin yang hanya semata-mata mengharapkan ridho allah dan membela agama allah dan rosulNya. yang kedua umat islam pribumi asli yastrib suku aus’ dan hosrodj yang karakter akhlaknya dikatakan dalam alquran “WALLADZINA TABAWWAU DARAL WA IMANA MIN QOBLIHIM YUHHIBUNA MAN HAJARI ILAIHIM WALA YAJINUNA FI SUDURIHIM HAJATAM MIMA UTU WA YU’SIRUNA ALA ANFUSIHIM WALAU KANA BIHIM KHOSOSO WAMAYYUKHO NAFSIHI FA ULAA IKA HUMUL MUFLIHUN”. Orng-orang yang menyiapkan tempat,rumah,lahan dan mentalnya,untuk menerima para muhajirin jadi siap menyambut orang asing dengan akhlak yang baik namanya anshor (nahnu anshorullah) kami penolong agama ALLAH. Yang ketiga penduduk kota yastrib ada orng yahudi, yaitu tiga suku pertama bani qoinuqo, kerjanya perajin mas. Bani quroidho kerjanya petani(menanam kurma dan anggur) dan yang ketiga bani nazird pekerja. Tiga suku ini pelarian dari Sina’i bani isroil dikejar fir’aun dipimpin oleh nabi musa,harun dan yusya lari dari mesir menyebrang laut merah sampai digurun sina’I selama 40tahun, sampai para nabi meninggal bani isroil bercerai berai kebanyakan ke eropa dan ada tiga suku ke kota yastrib yang kemudian anak cucunya bertemu dengan nabi MUHAMMAD SHOLALLAHU ALAIHI WA SALAM. Artinya penduduk kota yastrib majemuk(bhineka), tidak satu macam. ada pendatang, ada pribumi, dan ada non muslim. Dengan tegas rosulullah mengambil keputusan dengan mengatakan “ BISMILLAHI ‘ROHMANI ‘ROHIM HADZA KITABU MUHAMMAD ini ketetapan Muhammad AL-MUSLIMUNA MIN QURAYS orang islam pendatang muhajirin WAL MUSLIMUNA MIN YASTRIB orang islam pribumi anshor WAL YAHUD dan orang yahudi (non muslim) WAMAN TABI AHUM WALAHIQOBIHIM WAJA HADA MA’AHUM asalkan satu tujuan, satu cita-cita, satu garis perjuangannya INNAHUM UMATUN WAHIDATUN MIN DUNI NNAS sesunggunya semua itu adalah satu umat jadi nabi membangun umat yang berdasarkan tamaddun berdasarkan kebenaran, budaya, peradaban bukan berdasarkan suku atau agama sehingga disepakati kota yastrib diganti namanya dengan nama MADINAH dari kata tamaddun, madaniyyah yang artinya berperadaban,berbudaya dan berakhlak. Tidak pandang bulu yang benar pasti dilindungi hukum, yang salah pasti dikenai hukum, agamanya apa saja,sukunya darimana saja, namanya kota madinah. Rosulullah tidak mendirikan(memproklamirkan) berdirinya Negara islam, dan tidak Negara arab, Tapi Negara madinah yang didalamnya ada muslim dan juga non muslim(yahudi). Jadi Rosulullah 15abad yang lalu telah membangun konstitusi yang modern bukan berdasarkan agama atau suku, demikian pula nahdhotul ulama tahun 36 sembilan tahun sebelum merdeka punya gagasan,punya ide, mendirikan Negara Indonesia bukan Negara agama, bukan Negara suku, Tapi Negara Indonesia. Artinya INDONESIA bukan Negara islam, bukan Negara katolik, budha, atau hindu bukan pula Negara jawa, Madura, batak, dayak, ambom, bugis atau gorontalo. Tapi Negara Indonesia yang panitiannya BUPKI (badan upaya persiapan kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh bpak sukarno, wakilnya Muhammad hatta, anggotanya agus salim, kahar muzakir, wahid hasyim, Muhammad yamin, abi kusno, laymena, marimis. Jadi NU ikut menjadi panitia berdirinya Negara Indonesia ini, NAHDHOTUL ULAMA bukan mitra pemerintah tapi NU adalah oner pemilik Negara ini pemegang saham Negara ini.
“MAN LAISA LAHU ARD’ LAISA LAHU TARIKH WAMAN LAISA LAHU TARIKH LAISA LAHU DZAAQIROH “ barang siapa tidak punya tanah air maka tidak punya sejarah dan barang siapa tidak punya sejarah akan dilupakan oleh generasi yang akan datang”
Jadi kenapa rosul pindah kekota yastrib karena ingin membangun tanah air, ingin memiliki tanaha air kenapa al-qur’an masih menceritakan fir’aun sekalipun negatif karena fir’aun punya tanah air, kenapa kita masih mengingat kerajaan majapahit, pajajaran, sriwijaya, singosari, karena mereka adalah raja-raja yang punya tanah air. Kenapa yahudi mati-matian ini kembali ke palestina karena ingin kembali ke tanaha air leluhurnya. Lantas kenapa suku kurdi dilupakan? padahal suku kurdi punya ulama besar namanya sulaiman al-kurdi yang ngarang kitab tahrir, ahmad baha naqsabansah yaitu pendiri thariqoh naqsabandiah hampir hilang sejarahnya, kenapa? karena suku kurdi tidak punya tanah air sehingga suku kurdi ikut masuk Negara turki, ada juga yang ke irak, ada yang ke syiria, dan iran. Jadi tidak punya tanah air sendiri sehingga dilupakan oleh sejarah.
“MAN LAISA LAHU ARD’ LAISA LAHU TARIKH WAMAN LAISA LAHU TARIKH LAISA LAHU DZAAQIROH “ barang siapa tidak punya tanah air maka tidak punya sejarah dan barang siapa tidak punya sejarah akan dilupakan oleh generasi yang akan datang”
Jadi kenapa rosul pindah kekota yastrib karena ingin membangun tanah air, ingin memiliki tanaha air kenapa al-qur’an masih menceritakan fir’aun sekalipun negatif karena fir’aun punya tanah air, kenapa kita masih mengingat kerajaan majapahit, pajajaran, sriwijaya, singosari, karena mereka adalah raja-raja yang punya tanah air. Kenapa yahudi mati-matian ini kembali ke palestina karena ingin kembali ke tanaha air leluhurnya. Lantas kenapa suku kurdi dilupakan? padahal suku kurdi punya ulama besar namanya sulaiman al-kurdi yang ngarang kitab tahrir, ahmad baha naqsabansah yaitu pendiri thariqoh naqsabandiah hampir hilang sejarahnya, kenapa? karena suku kurdi tidak punya tanah air sehingga suku kurdi ikut masuk Negara turki, ada juga yang ke irak, ada yang ke syiria, dan iran. Jadi tidak punya tanah air sendiri sehingga dilupakan oleh sejarah.
Jumat, 21 Oktober 2016
KLARIFIKASI SHOLAWAT NARIYAH
Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.
Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.
Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?
Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:
Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:
Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:
Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."
Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.
Bantahan dari Ilmu Sharaf Dasar
Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.
Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.
Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.
Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .
Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.
Contoh:
كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ
“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.
Contoh lain:
حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasan lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
Hal ini mengingatkan kita pada doa:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).
Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusaha, bukan Nabi Muhammad.
Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.
Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.
تَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ
“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”
Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.
Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan katabihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.
Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam.
Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.
Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?
Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:
اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ
Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."
Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.
Bantahan dari Ilmu Sharaf Dasar
Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.
Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.
Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.
Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .
Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.
Contoh:
كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ
“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.
Contoh lain:
حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasan lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
Hal ini mengingatkan kita pada doa:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ
Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).
Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusaha, bukan Nabi Muhammad.
Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.
Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.
تَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ
“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”
Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.
Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan katabihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.
Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam.
Kamis, 20 Oktober 2016
DOA BACA ALQUR'AN SAMPAI KPD MAYYIT
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
<>
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukhatau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Langganan:
Postingan (Atom)