Memang ada juga yang nyinyir, ketika membahas sampai tidaknya pahala bacaan al-Qur’an perspektif Imam Syafi’i. Dengan menyebutkan; “katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”
Agak susah sebenarnya melacak langsung pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), tentang bacaan al-Quran yang dihadiahkan pahalanya kepada mayit itu muthlak tidak sampai, maksudnya dengan keadaan apapun. Biasanya kebanyakan mengambil dari pernyataan Ibnu Katsir ad-Dimasyqi (w. 774 H) dalam tafsirnya; Tafsir al-Quran al-Adzim, h. 7/ 465, serta pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H), bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah tidak sampai.
فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل
Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an) (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Adzkar, h. 278).
Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), yang sering dinukil oleh mereka yang menyatakan tidak sampai ini.
Pertama, pernyataan tak sampainya bacaan al-Quran kepada mayyit dengan keadaan apapun, dari Imam as-Syafi’i ini secara jelas susah dilacak, kalaupun ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.
Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit.
Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan sendiri dalam kitabnya al-Umm:
وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت
Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan. (Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i w. 204 H, al-Umm, h. 1/ 322)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)
Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w. 204 H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah di kuburkan? Atau bahasa lainnya, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan. Perlu dicatat, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) tak pernah menyatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayyit itu bid’ah yang sesat.
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) juga tak pernah menyatakan bahwa membaca al-Quran di kuburan itu bid’ah. Beda dengan yang mengaku mengikuti Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam hal tak sampainya bacaan saja. Tetapi giliran menjelaskan hukum membaca al-Qur’an di kuburan, malah membid’ah-bid’ahkan.
afwan, skedar ikut mnambahi ket:
Bukankah Imam Syafi’i ~rahimahullah berpendapat bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada si mayyit ?
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat adalah pengikut Imam Mazhab yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pengikut ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan lain-lainnya
Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat
---------------
Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
(Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
--------------
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”
(Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
"STATMAN DI ATAS ITU ADA BENARNYA BENAR NAMUN SALAH KAPRAH"
(Lebih bijak jika menjelaskan detail hukumnya)
Perbedaan pendapat di kalangan ulama' ASWAJA itu hal yang wajar, namun tidak serta merta harus membenarkan hanya satu pendapat hingga fanatik buta seperti WAHABY.
Ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah bacaan al-Quran.
1. Madzhab hanafiyyah
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada mayit hukum dibolehkan.
Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit. Dalam
Imam Ibnu Abil Izz ulama Hanafiyah menuliskan :
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah meninggal.
Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya.
(Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).
2. Madzhab Malikiyah
Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).
Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan :
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib.
(Minan al-Jalil, 7/499).
3. Madzhab Asy-syafiiyyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, bahw aitu tidak sampai pahalanya kepada mayit.
Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit.
(Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – dan ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil kerja mereka.
(Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil dan alasan yang mendukung pendapatnya.
4. Madzhab Hambaly.
Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana yanng terjadi pada madzhab Malikiyah.
Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini :
√ Boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
√ Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
√ Pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
Al-Buhuti mengatakan,
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal.
(Kasyaf al-Qana’, 2/147).
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,
وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya.
(as-Syarhul Kabir, 2/425).
Ibnu Qudamah juga menyebutkan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,
وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika seseorang membaca al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, maka pahala tetap menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti orang yang hadir di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat rahmat.
(as-Syarhul Kabir, 2/426).
AL-HASIL :
Dari berbagai perbedaan pendapat Ulama' ini menurut Qoul Muhtar (Pendapat yang di pilih) Adalah :
"Seyogyanya bagi pembaca Al-qur'an yg hendak menghadiahkan bacaannya agar mengatakan :
"YA ALLAH SAMPAIKANLAH PAHALA INI PADA ARWAH SAUDARA...."
(Adzkar An-nawawy, Hal 117)
Pahala Alquran tidak sampai, Apakah benar pendapat Al-Imam Asy-Syafi'iy?Jika kita perhatikan redaksi dari Al-Allamah Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi dan redaksi Al-Imam An-Nawawi ketika menyebutkan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’I maka akan kita temukan kalimat “ Al-Masyhur min madzhabi Asy-Syafiiy”. Ternyata jika kita pahami lebih dalam lagi bahwa kalimat “Al-Masyhur” ini menunjukkan bahwa disana ada qoul Al-Imam Asy-syafiiy yang tidak Masyhur. Nah qoul yang tidak masyhur inilah nanti dipahami oleh sebagian kalangan ulama syafiiyah bahwa maksud dari qoul nya Al-Imam Asy-Syafiiy adalah tidak sampai jika tidak diniatkan bacaannya atau tidak dibaca dihadapan si mayit.
Karena begini, justru dikitab yang lain disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafiiy menganjurkan seseorang untuk membaca Al-quran disisi mayit. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Riyadhus Sholihin halaman 295 :
باب الدعاء للميت بعد دفنه والقعود عند قبره ساعة للدعاء له والاستغفار والقراءة
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا. رياض الصالحين, ص : 295
Terjemah : bab doa untuk si mayit dan duduk di kuburan untuk berdoa dan memohonkan ampun dan bacaan. Imam syafiiy berkata “ dan dianjurkan untuk membacakan alquran di sisi mayit, jika sampai khatam maka itu lebih baik”.
Maka dari itu Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshori dan Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa maksud dari kalam nya Al-Imam Asy-Syafiiy bahwa bacaan Al-quran itu tidak sampai adalah jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan dihadapan si mayit. Berikut ini penjelasan Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshori di dalam kitab Fathul Wahhab juz 2 halaman 23 :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض. ( فتح الوهاب, ج : 2, ص : 23
Terjemah : adapun pahala bacaan maka menurut imam nawawi sampai pahalanya. Adapun yang masyhur dari imam syafiiy tidak sampai pahalanya. Maksudnya adalah jika tidak dibacakan di dekat si mayit atau tidak diniatkan pahalanya. Tapi jika diniatkan maka pahalanya sampai.
Begitu juga Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan di dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro juz 2 halaman 27 :
وكلام الشافعي – رضي الله عنه – هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقيبه. ( الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي, ج : 2, ص : 27
Terjemah : perkataan imam Syafiiy maksudnya adalah jika alquran itu tidak dibaca dihadapan si mayit dan tidak berdoa setelahnya.
Ini adalah penjelasan sebagian ulama syafiiyah yang menjelaskan qoul nya Al-Imam Asy-Syafi’iy. Dalam hal ini Al-Imam An-Nawawi lebih memilih pendapat bahwa bacaan Al-Quran itu sampai kepada mayit dengan cara berdoa kepada Allah untuk menyampaikan pahalanya kepada si mayit. Berikut ini perkataan Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab :
والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها. ( المجموع, ج : 15, ص : 522
Terjemah : pendapat pilihan kami adalah sampainya pahala bacaan jika seseorang meminta kepada Allah untuk menyampaikan pahalanya. Karena ini termasuk doa. Dan doa itu termasuk perkara yang disepakati kebolehannya dan si mayit mendapatkan manfaat dari doa tersebut.
Intinya memang para ulama salaf dan ulama kontemporerpun berbeda pendapat dalam masalah ini. Silahkan anda pilih dari salah satu pendapat ulama tersebut.
Bubarkan Wahabi DALIL KESUNNAHAN DZIKIR TAHLILAN 7 HARI, HARI KE-40, 100 DAN 1000 WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.” SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?” WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.” SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.” WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?” SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.” WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.” SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan: عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ. (رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير). “Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]). Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.” SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.” WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?” SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini: عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان). Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin lain.
ويستحب أن يقرأ عنده (الميت) شيء من القرآن وإن ختموا القرآن كله كان حسناً.
رياض الصالحين
الأذكار..
Salah satu Amalan Rasulullah yang sampai kepada si Mayit.
Hadits Bukhari 1273
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Keduanya sungguh sedang disiksa, & tidaklah keduanya disiksa disebabkan karena berbuat dosa besar. Yang satu disiksa karena tak bersuci setelah kencing sedang yg satunya lagi karena selalu mengadu domba Kemudian Beliau mengambil sebatang dahan kurma yg masih basah daunnya lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Mereka bertanya: Kenapa anda melakukan ini?. Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menjawab: Semoga diringankan (siksanya) selama batang pohon ini basah. [HR. Bukhari No.1273].
Hadits Bukhari No.1273 Secara Lengkap
[[[Telah menceritakan kepada kami [Yahya] telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'awiyah] dari [Al A'masy] dari [Mujahid] dari [Thawus] dari [Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma] berkata, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bahwasanya Beliau berjalan melewati dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa, lalu Beliau bersabda: "Keduanya sungguh sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan karena berbuat dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing sedang yang satunya lagi karena selalu mengadu domba" Kemudian Beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah daunnya lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Mereka bertanya: "Kenapa anda melakukan ini?". Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menjawab: "Semoga diringankan (siksanya) selama batang pohon ini basah".]]].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar