HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّة ً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sung guh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakann ya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunna h), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungja wabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyo ng, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِي ْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْن َ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangka n ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangka n ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda ') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’ , walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
***
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangka n Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kel ompok di sudut-sudut Masjidil-haram) , dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11 ]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU
(Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
Ibid
Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatn ya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb.
Jelas banyak dalilnya.
Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan shalat karena adanya bulan purnama
Tidak ada sumbernya
>>>Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll
Tidak ada sumbernya
>>>Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat
***
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya. “ )HR. Tirmidzi(
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya ). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya ).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُم ْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakar sa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
______________ _______________ __________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi .
Rasulullah SAW Bersabda:
ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَ ﺧَﻴْﺮَ ﺍلْهدى هدى ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَ ﺷَﺮَّ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَ ﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
(رواه مسلم فى الصحيح)
Sesungguhnya Sebaik-Baik Perkataan Adalah Al Qur'an,Sebaik-Baik Petunjuk Adalah Petunjuk Nabi Muhammad,Seburuk-Buruk Perkara Adalah Perkara Yang Baru,Dan Setiap Bid’ah Adalah Sesat.
(HR.Muslim Didalam Kitab Shohihnya)
و قال أيضا ؛
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلُّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
(رواه النسائى فى السنن)
Dan Beliau Juga Bersabda :
"Setiap Perkara Baru Adalah Bid'ah,Dan Setiap Bid'ah Adalah Sesat,Dan Setiap Yang Sesat Itu Di Neraka"
(HR.Nasai Didalam Kitab Sunannya)
-Bid’ah Dalam Bahasa Arab Disebut Isim Yaitu Kata Benda Yang Mempunyai Sifat,Tidak Mungkin Ia Tidak Mempunyai Sifat,Karena Setiap Benda Pasti Mempunyai Sifat.
Bila Ia Mempunyai Sifat,Berarti Ada 2 Kemungkinan Dalam Sifatnya : "Bersifat BAIK Atau Bersifat BURUK"
Hanya Saja Sifat Tsb Tidak Disebut Didalam Haditsnya,Dan Hal Ini Hanya Dapat Dilacak Bila Mempelajari Ilmu Alat (Yaitu Ilmu Bahasa Arab).
Dalilnya Mana,Saya Kasi Dalil Pembuangan Sifat Ini Dalam Surah Al Kahfi Ayat 79 :
وَ كَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
Terjemahnya ;
"Dan Didepan Mereka Ada Raja Yang Akan Merampas Setiap Kapal"
Apakah Raja Tsb Mengambil SEMUA KAPAL Atau Hanya SEBAGIAN KAPAL Saja ??
Jawabannya Adalah Raja Tsb Hanya Mengambil SEBAGIAN KAPAL Saja Yaitu KAPAL YANG BAIK Saja,Adapun KAPAL YANG BURUK Tidak Diambil Oleh Si Raja.
Karena Kenyataannya Memang Demikian.
Jadi Pada Lafazh سَفِيْنَةٍ Dalam Ayat Diatas,Terdapat Sifat Yang Dibuang Yaitu Lafazh حَسَنَةٍ.
Jadi Tafsirnya Ialah :
وَ كَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ حَسَنَةٍ غَصْبًا
"Dan Didepan Mereka Ada Raja Yang Akan Merampas Setiap Kapal YANG BAIK"
Jadi Bedakanlah Pemahaman Orang Yang Hanya Memakai Terjemah Dengan Orang Yang Memakai Ilmu Bahasa Arab & Tafsir !!!
-Lantas Kalo Ada Yang Bilang :
"Hadits Nabi Mau Dilawan Pake Ilmu Nahwu Shorof"
(Ini Ucapannya Si Dajjal Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas,Dan Diikuti Oleh Orang Salafi Wahhabi Yang Maunya Dapet Ilmu Instan).
Ucapan Ini Sebenarnya Menyindir Dirinya Sendiri Yang Gak Tau Ilmu Alat 😂😂.
Seandainya Pun Dia Tau Ilmu Alat,Mungkin Hanya Sebagai Dalih Untuk Membenarkan Pemahamannya Saja Tanpa Pernah Mendalami Ilmu Alatnya.
Mengapa Begitu ??
Karena Dia Sangat Berani Menyamakan Hadits Nabi Dengan Pemahamannya Sendiri !!!
Hadits Nabi Itu Adalah Wahyu,Sedangkan Pemahaman Yazid Jawas & Pengikutnya Tu Apa Ya ?? 😂😂😂
Mungkin Si Yazid & Pengikutnya Gak Tau Sama Perintah Nabi & Sahabat Yang Menyuruh Belajar Bahasa Arab Kali Ya ??
😂😂
Rasulullah SAW Bersabda :
اَعْرِبُوْا الْقُرْآنَ
"I'robkanlah Al Qur'an"
Dan I'rob Itu Hanya Diketahui Kalo Belajar Ilmu Nahwu.
Sayyidina Umar bin Khattab Berkata :
تَعَلَّمُوْا الْعَرَبِيَّةَ فَإنَّهَا تَثْبِتُ الْعَقْلَ وَ تَزِيْدُ فِى الْمُرُوْءَةِ
"Belajarlah Bahasa Arab,Karena Belajar Bahasa Arab Dapat Menetapkan Akal & Menambah Adab (Untuk Menafsirkan Al Qur'an Dan Hadits)"
Lah Kalo Al Qur'an & Hadits Itu Bahasa Arab,Berarti Untuk Memahaminya Pun Wajib Dengan Belajar Bahasa Arab (Bukan Terjemah) !!!
Karena Tidak Logis Rasanya Bila Ada Yang Mau Tau Bahasa Inggris Tapi Belajarnya Ilmu Bahasa Indonesia 😂😂😂,Kan Gak Nyambung.
Jadi Pasti Harus Belajar Grammar Kan ?? 😄😂
=Kembali Ke Pembahasan Hadits Bid'ah Diatas.
Nabi Tau Meskipun Hadits Bid'ah Diatas Tidak Disebutkan Sifatnya Maka Sifat Ini Akan Terlacak Dalam Ilmu Bahasa Arab Yang Tepatnya Dalam Ilmu Balaghoh Pada Pembahasan :
حذف الصفة على الموصوف
“Membuang Sifat Dari Benda Yang Bersifat”.
Maka Itulah Nabi Cukupkan Dengan Menyebut KULLU BID'ATIN Saja Tanpa Menyebut Sifatnya,Karena Mu'jizat Ucapan Nabi Adalah JAWAMI'UL KALIM (Singkat,Padat Dan Jelas) !!!
Kalo Ucapan Nabi Adalah JAWAMI'UL KALIM,Jadi Gak Perlu Bertele-Tele Untuk Menyebutkan Sifatnya !!!
Hehehe
Selanjutnya,Kalimat بِدْعَةٍ Disini Adalah Bentuk Isim (Kata Benda),Bukan Fi’il (Kata Kerja).
Hal Ini Dibuktikan Dengan Adanya Tanwin Dalam Lafazh بِدْعَةٍ Sebagai Salah Satu Tanda Isim.
Dalam Ilmu Nahwu,Menurut Kategorinya Isim Terbagi Menjadi Dua Yakni Isim Ma’rifah (Khusus) & Isim Nakiroh (Umum).
Dan Lafazh بِدْعَةٍ Adalah Isim Nakiroh (Umum),Hal Ini Dapat Dilihat Dari Tanda Tanwin Yang Merupakan Alamat Dari Isim Nakiroh.
Adapun Isim Ma'rifah Secara Global Ada 5 (Dengan Menggabung Isim Isyaroh & Isim Maushul Jadi Satu),Tetapi Bila Dirincikan Ada 6,Dan Saya Akan Mengambil Yang Rinci Saja Yaitu :
1.Isim Dhomir
2.Isim 'Alam
3.Isim Isyaroh
4.Isim Maushul
5.Isim Yang Ber-Alif Lam
6.Isim Yang Beridhofah (Bersandar) Kepada Salah Satu Dari Isim Yang Lima Yang Sebelumnya.
Dan Kalimat بِدْعَةٍ Bukan Termasuk Dari Yang 6 Diatas.
Maka Jelaslah Bahwa Kalimat بِدْعَةٍ Disini Adalah Isim Nakiroh (Umum),Dan Lafazh كُلّ Beridhofah (Bersandar) Kepada Isim Nakiroh Sehingga Makna كُلّ بِدْعَةٍ Adalah 'Am (Umum) Yang Tidak Terbatas Pada BID'AH AGAMA Saja.
Seandainya كُلّ Beridhofah Kepada Salah Satu Dari Isim Yang 6 Diatas,Maka Lafazh كُلّ Akan Menjadi Isim Ma’rifah (Khusus).
Tapi Pada Hadits كُلَّ بِدْعَةٍ ,Lafazh كُلّ Beridhofah Kepada Isim Nakiroh Sehingga كُلّ بِدْعَةٍ Dan Lafazh ضَلَالَةٌ Bermakna ‘Am (Umum).
Sehingga Dapat Dipastikan Yang Dimaksud Hadits كُلّ بِدْعَةٍ Adalah BID'AH AGAMA Dan BID'AH DUNIA.
Pembahasan Ini Sebenarnya Sudah Cukup Untuk Membantah Golongan Yang Berkata Bahwa كُلّ بِدْعَةٍ Hanya Khusus Bid'ah Agama Saja !!!
Karena Pada Faktanya,Lafazh كُلّ بِدْعَةٍ Itu Bermakna Umum Yaitu Bid'ah Agama Juga Bid'ah Dunia.
Jadi Siapapun Yang Berpendapat Bahwa SEMUA BID'AH Itu SESAT,Maka Tidak Boleh Tidak Dia Harus Mengatakan Bahwa BID'AH DUNIA Juga SESAT.
Tetapi Bila Dia Mengatakan SEMUA BID'AH Itu SESAT Lantas Dia Membatasi Dengan BID'AH AGAMA Saja,Maka Ketahuilah Bahwa Dia Tidak Tau Ilmu Bahasa Arab Dan Ilmu Tafsir Hadits.
Dan Itu Menandakan Ke-GOBLOK-annya Yang Tidak Ia Sadari !!!
-Dan Karena Keumuman Makna Hadits كُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ Inilah,Imam Nawawi Berkata Didalam Kitabnya Yang Bernama AL MINHAJ SYARAH SHOHIH MUSLIM BIN AL HAJJAJ Dengan Perkataannya :
قوله وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ هذا عام مخصوص و المراد غالب البدع
"Sabda Nabi KULLU BID'ATIN DHOLALAH Adalah Lafazh Umum Yang Dibatasi Jangkauannya.Dan Maksud Hadits Tsb Adalah SEBAGIAN BID'AH AGAMA itu SESAT,Bukan SEMUANYA"
Selanjutnya Imam Nawawi Juga Mengatakan :
وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة
"Dan Yang Dikehendaki Adalah PERKARA BARU YANG BATHIL Dan BID'AH YANG BURUK"
Maka Dalam Masalah Ini,Imam Nawawi Mentaqdirkan Dibuangnya Lafazh سَيِّئَةٍ Yang Merupakan Sifat Dari Lafazh بِدْعَةٍ .
Mengapa Demikian ??
Karena Bila Ditaqdirkan Sifat Yang Dibuang Adalah Lafazh حَسَنَةٍ ,Maka Makna Haditsnya Adalah :
كُلّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap Bid'ah YANG BAIK Adalah Sesat,Dan Setiap Yang Sesat Itu Di Neraka"
Dan Ini Tidak Mungkin Terjadi !!!
Bagaimana Bisa KEBAIKAN Berkumpul Dengan KESESATAN Dalam Waktu Dan Tempat Yang Sama,Dan Bagaimana Mungkin KEBAIKAN Itu Bertempat Di Neraka ??
Jadi Jelaslah Bahwa Dalam Masalah Ini,Imam Nawawi Mentaqdirkan Dibuangnya Lafazh سَيِّئَةٍ Yang Merupakan Sifat Dari Lafazh بِدْعَةٍ .
Jadi Bila Hadits Tsb Dimaknai Menurut Ilmu Bahasa Arab Dan Tafsir (Bukan Terjemah),Maka Maknanya Adalah :
كُلّ بِدْعَةٍ سَيِّئَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap Bid'ah YANG BURUK Adalah Sesat,Dan Setiap Yang Sesat Itu Di Neraka"
Dari Beberapa Faktor Inilah Imam Nawawi Menyetujui Pembagian Bid'ah Menjadi BID'AH HASANAH & BID'AH DHOLALAH.
Bahkan Beliau Juga Membagi Bid'ah Menjadi 5 Hukum Yaitu ; "Wajib,Sunnah,Makruh,Mubah,Dan Haram"
Dan Pendapat Ini Sebenarnya Juga Dikatakan Oleh Para Ulama Selain Beliau Seperti Imam Izzuddin bin Abdus Salam,Imam Abu Syamah,Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani,Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani,Dll.
انتهى كلامى
و الله أعلم بالصواب
=NASEHAT !!!
Pelajarilah Ilmu Bahasa Arab Supaya Tidak Tersalah Dalam Memaknai Al Qur'an & Hadits.
Sebab Bila Tersalah Memaknai Keduanya,Pasti Akan Terjerumus Dalam Kesesatan Aqidah Dan Pemakaian.
Dan Hal Ini Menentukan SURGA Dan NERAKA-mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar