Kamis, 20 Desember 2018

KAJIAN BID'AH

*Beberapa Masalah Terkait Kaedah Dalam _Istinbath_ Dan _Istidlal.

*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:

مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ

Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".

Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:

تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ

Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".

At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang  melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…"  (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".

Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ

Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki

akibat hukum apapun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)

Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar  " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.

*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.

*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut  masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ   [سورة الحـجّ

Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:

        " العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
   Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum  dan itu artinya bahwa syari'at  ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada  penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at  merupakan kekufuran yang sangat nyata.

*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.

*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):

"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:

أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ  [سورة الزخرف

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran".  (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.

*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati :

        "لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.

Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.


=== Referensi====

[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul. 
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.

Rabu, 08 Agustus 2018

TAUHID IMAM SYAFI'I

.AKIDAH ASLI IMAM MADZAB.
.

.
Tulisan ini Merinci akidah asli imam madzab sebenarnya karena sering kita baca kaum wahabi mengaku ngaku bahwa akidah imam madzab sama dengan mereka yakni menentukan arah dan tempat,ruang yg pada akhirnya penyerupaan bagi Allah (jisim).
.
Uraian ini juga menjawab beberapa FITNAH KAUM WAHABI terhadap imam madzab dalam akidah.
.
Berikut penjelasanya :
.
.
1. AKIDAH ASLI IMAM SAFII.

Mari kita lihat qaul-qaul imam Syafi’i yang kami nukil
dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh(terpercaya) :
.
1. Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA dalam al-Quran beliau menjawab :
.
“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖ ﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ” ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ
‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏( ﺹ 24 ‏) ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ
ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏( ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦ ﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏( ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ .

“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa
melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
.
Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al- Hishni di dalam kitab Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarrada halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada
halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata
.
:
ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ
“ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud
Rasulullah Saw “.
.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan lainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
.
ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ ﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺗﺬﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﻭﺍﻟﻈﻨﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﺤﺴﻴﺔ ﻭﺍﻟﺠﺴﻤﻴﺔﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ .
.
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “
.
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
.
2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
.
ﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺗﻤﺜﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻷﻭﻫﺎﻡ ﺃﻥ ﺗﺤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻨﻮﻥ ﺃﻥﺗﻘﻄﻊ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﻮﺱ ﺃﻥ ﺗﻔﻜﺮ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻤﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﺗﻌﻤﻖ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻮﺍﻃﺮ ﺃﻥ ﺗﺤﻴﻂ ﺇﻻﻣﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ – ﺃﻱ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺟﻬﺒﻞ ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺘﻪ ﺍﻧﻈﺮ ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺝ 9/40 ﻓﻲﻧﻔﻲ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﺭﺩ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ .
.
“Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi
lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”
.
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al- Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
.
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2
halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
.
ﺇﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪﺍﻟﻤﻜﺎﻥَ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮُ ﻓﻲ ﺫﺍﺗﻪ ﻭﻻ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺗﻪ ”
.
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga
perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
.
4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
.
ﻣﻦ ﺍﻧﺘﻬﺾ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﻣﺪﺑﺮﻩ ﻓﺎﻧﺘﻬﻰ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻜﺮﻩ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺒﻪ ﻭﺇﻥﺍﻃﻤﺄﻥ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﺼﺮﻑ ﻓﻬﻮ ﻣﻌﻄﻞ ﻭﺇﻥ ﺍﻃﻤﺄﻥ ﻟﻤﻮﺟﻮﺩ ﻭﺍﻋﺘﺮﻑ ﺑﺎﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦﺇﺩﺭﺍﻛﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻮﺣﺪ
.
“ Barangsiapa yang berantusias untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih

(orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt).

Dan jika ia merasa tenang pada
kewujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan
untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
.
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah
mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
.
- } ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ } ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ ]

“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “

- ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮﺍْ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷَﻣْﺜَﺎﻝَ } ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ ]

“ Janganlah kalian membuat perumpamaan- perumpamaan bagi Allah Swt “

- }: ﻫَﻞْ ﺗَﻌْﻠَﻢُ ﻟَﻪُ ﺳَﻤِﻴًّﺎ } ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﻣﺮﻳﻢ ]

“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
.
Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna,

jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.

Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA
dalam Al-Quran beliau menjawab
. :
“ ﺀﺍﻣﻨﺖ ﺑﻼ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺻﺪﻗﺖ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻭﺍﺗﻬﻤﺖ ﻧﻔﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﻭﺃﻣﺴﻜﺖﻋﻦﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ” ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺮﻓﺎﻋﻲ ﻓﻲ
‏( ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻳﺪ ‏) ‏( ﺹ 24 ‏) ﻭﺍﻹﻣﺎﻡﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻓﻲ ‏( ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﻣﻦﺷﺒﻪ ﻭﺗﻤﺮﺩ ‏) ‏( ﺹ 18 ‏) ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮ .
.
“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa
melakukan percontohan,

 dan aku mengkhawatirkan nafsuku dalam memahaminya dan aku
mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini
dengan sebenar-benarnya pencegahan “
.
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “Al-Burhan Al-Muayyad “ halaman ; 24
.
‏( ﻓﺼﻞ ‏) ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮْﺍ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻻَﻣَﻜَﺎﻥَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺍﻟﺪّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻫُﻮَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻛَﺎﻥَﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻓَﺨَﻠَﻖَ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﻔَﺔِ ﺍﻷﺯَﻟِﻴّﺔِ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺗِﻪِِ ﻭَﻻَ ﺍﻟﺘَّﺒَﺪُّﻝُ ﻓِﻲ ﺻِﻔَﺎﺗِﻪِ، ﻭَﻷﻥّ ﻣَﻦْ ﻟَﻪُ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺗَﺤْﺖٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻪُﺗَﺤْﺖٌ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣُﺘَﻨَﺎﻫِﻲ ﺍﻟﺬّﺍﺕِ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩًﺍ،ﻭَﺍ
ﻟْﻤَﺤْﺪُﻭْﺩُﻣَﺨٌﻕْﻮُﻠْ،ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ،ﻭﻟِﻬﺬَﺍ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﺳْﺘَﺤَﺎﻝَ ﻋَﻠﻴْﻪ ﺍﻟﺰّﻭْﺟَﺔُ ﻭَﺍﻟﻮَﻟﺪُ،ﻷﻥّ ﺫﻟِﻚ ﻻَ ﻳَﺘِﻢّ ﺇﻻّﺑﺎﻟْﻤُﺒَﺎﺷَﺮِﺓَ
ﻭﺍﻻﺗّﺼَﺎﻝِ ﻭﺍﻻﻧْﻔِﺼَﺎﻝ .
.
Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali,

 sebelum Dia
menciptakan tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya ,

Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu

yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua.

Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak.
Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah.
.
Allah mustahil pada-Nya ,sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.

Oleh sebab itu adanya
istilah suami,istri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.13)
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM SAFII
.
Wahabi bukan ahlu sunnah karna berdusta dengan menyandarkan perkataan dari Imam Syafi,i
.
” ﺭﻭﻯ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ ، ﻭﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻫﻢﺇﻟﻰ ﺃﺑﻲ ﺛﻮﺭ ﻭﺃﺑﻲ ﺷﻌﻴﺐ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻧﺎﺻﺮﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻭﺃﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻻﻗﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ
ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ “
.
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkandan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi denganisnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib,keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I,

Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat didalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan
dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik
dan
selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah
bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Alla,

dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat.
kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja
DIA kehendaki “.
.
Lihat kitab FITNAH WAHABI
Mukhtashar Al-‘uluw halaman : 176)
.
Sekarang mari kita Perhatikan Perkataan diatas dari sisi sanadnya:
.
1. Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya
MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
.
ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﻬﻜﺎﺭﻱ : ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻜﺬﺍﺑﻴﻦ ﺍﻟﻮﺿﺎﻋﻴﻦ
.
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
.
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
.
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺛﻮﻗﺎً ﺑﻪ
.
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
.
3. Ibnu Najjar berkata :
.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ : ﻣﺘﻬﻢﺑﻮﺿﻊﺍﻟﺤﺪﻳﺚﻭﺗﺮﻛﻴﺐﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ
.
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun- nyusun sanad “
.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL- MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
.
ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﻋﻠﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺍﻟﻐﺮﺍﺋﺐ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ، ﻭﻓﻲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ
.
“ Kebanyakan hadits yang diriwayatkannya adalah gharib(langka) dan mungkar dan juga terdapat hadits- hadits palsunya “.
.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman :184 :
.
ﻭﻫﻮ ﻛﺬﺍﺏ ﻭﺿﺎﻉ
.
“ Dia adalah seorang yang suka berdusta dan suka memalsukan hadits”
.
Sekarang perhatikan pula dari sisi masanya:
.
Mereka (wahhabiah) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i.
.
Benarkah ?
.
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / Sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imamSyafi’i,

sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIK HAL-BAGHDADI juz : 9 halaman : 436…
.
Nah dari sini kita melihat FITNAH AKIDAH atas nama ima safii oleh kaum ahlul fitnah wahabi dengan KITAB SERVICE-nya.
.
Jika sudah begini maka dimana letaknya wahabi memang ahlu sunnah,alim,sesuai pemahaman salafus sholeh dan ngaku ngaku sesuai quran hadits shoheh ?
.
He wahabi awam !
.
Kalian ini di bodohi ustadz dan ulama penipu ! Kalian tdk sadar jk telah dijebak masuk dalam akidah mujasimah yg dari berabad abad lalu di tolak mayoritas ulama salaf !.
.
Taubat saja ! Tinggalkan firqoh sok ahli sunnah tetapi faktanya MENIPU DAN MEMFITNAH !.
.
2. ALKIDAH ASLI IMAM HANAFI.
.
.Imam Hanafi berkata :
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓ، ﻭَﻳَﺮَﺍﻩُﺍﻟْﻤُﺆَﻥْﻮُﻨِﻣْ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺑِﺄﻋْﻴُﻦِﺭُﺅُﻭﺳْﻢِﻬِ ﺑﻼَﺗَﺸْﺒِﻴْﻪٍ ﻭَﻻَ ﻛَﻤِّﻴَّﺔٍ ﻭَﻻَﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔ .

Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika
mereka di surga dengan mata kepala mereka masing- masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya,bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri
.
Al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, hlm.136-137
.
beliau juga berkata
.
ﻗُﻠْﺖُ : ﺃﺭَﺃﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻗِﻴْﻞَ ﺃﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻳُﻘَﺎﻝُﻟَﻪُ : ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺃﻳْﻦ ﻭَﻻَ ﺧَﻠْﻖٌ ﻭَﻻَ ﺷَﻰﺀٌ ،ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞّ ﺷَﻰﺀٍ “.
.
Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata:
Di manakah Allah.

Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada.Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,

sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
.
al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalah nya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.20
.
Juga berkata
.
ﻭَﻧُﻘِﺮّ ﺑِﺄﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَﻟَﻪُ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇﻟﻴْﻪِﻭَﺍﺳْﺘِﻘْﺮَﺍﺭٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﻫُﻮَﺣَﺎﻓِﻆُ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻣِﻦْﻏَﺒْﺮِ ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﺝٍ، ﻓَﻠَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﻟَﻤَﺎﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ ﺇﻳْﺠَﺎﺩِﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِﻭَﺗَﺪْﺑِﻴْﺮِﻩِﻗﻮُﻠْﺨَﻤْﻟﺎَﻛِﻴ َﻦْ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ ﻭَﺍﻟﻘَﺮَﺍﺭِﻓَﻘَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺃﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ .

.
Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” [sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an] dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy tersebut dan tidak
bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah
membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri.
.
Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya [termasuk ‘arsy] di manakah DiaAllah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.
.
Al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h.70.

3. AKIDAH IMAM HAMBALI
.
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam
yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.
.
Dalam pada ini as-
Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

ﻭَﻣَﺎ ﺍﺷْﺘُﻬِﺮَ ﺑَﻴْﻦَ ﺟَﻬَﻠَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻨْﺴُﻮْﺑِﻴْﻦَ ﺇﻟَﻰ ﻫﺬَﺍ ﺍﻹﻣَﺎﻡِ ﺍﻷﻋْﻈَﻢِ ﺍﻟْﻤُﺠْﺘَﻬِﺪِ ﻣِﻦْ ﺃﻧّﻪُ ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﺑِﺸَﻰﺀٍﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻬَﺔِ ﺃﻭْ ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﻓَﻜَﺬِﺏٌ ﻭَﺑُﻬْﺘَﺎﻥٌ ﻭَﺍﻓْﺘِﺮَﺍﺀٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ .

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah
merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al- Haditsiyyah, h. 144)

ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻪ " : ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺟﺴﻢ ﻻ ﻛﺎﻷﺟﺴﺎﻡ ﻛﻔﺮ ‏) " ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺗﺸﻨﻴﻒ ﺍﻟﻤﺴﺎﻣﻊ
.
"Barang siapa yg mengatakan Allah Swt itu jisim yg tdk seperti jisim yang lain maka dia telah kafir."Riwayat Al-Hafidz Badruddin Al-Zarkasyi dalam Kitab tasynif Al-masami.
.
Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf
saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunnah
WalJama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan
para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam
menetapkan keyakinan suci ini.
.
FITNAH WAHABI ATAS AKIDAH IMAM HAMBALI
Wahhabiyyah telah melakukan kedustaan besar atas al-Imâm Ahmad, dan merupakan bohong besar jika mereka mengklaim diri mereka sebagai kaum bermadzhab Hanbali.
.
Madzhab al-Imâm Ahmad
terbebas dari keyakinan dan ajaran-ajaran kaum Wahhabiyyah.
.
Anda dapat melihat dengan berbagai referensi yang sangat kuat bahwa al-Imâm Ahmad
telah memberlakukan takwil dalam memahami teks- teks Mutasyâbihât, seperti terhadap firman Allah: ”Wa Jâ-a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22), dan firman-Nya: ”Wa Huwa Ma’akum” (QS. Al-Hadid: 4), juga seperti hadits
Nabi ”al-H ajar al-Aswad Yamîn Allâh Fi Ardlih”.
.
Teks-teks tersebut, juga teks-teks Mutasyâbihât lainnya sama
sekali tidak dipahami oleh al-Imâm Ahmad dalam makna-makna zahirnya. Sebaliknya beliau memalingkan makna-makna zahir teks tersebut dan
memberlakukan metode takwil dalam memahami itu semua, karena beliau berkeyakinan sepenuhnya bahwa Allah maha suci dari menyerupai segala makhkuk-Nya dalam segala apapun.
.
Al-H âfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan al-
H âfizh ad-Daraquthni berkata:
.
“Ada dua orang saleh
yang diberi cobaan berat dengan orang-orang yang buruk akidahnya, yaitu Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal”
.
Dikutip oleh al-H âfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî dengan rangkaian sanad-nya langsung dari al-H âfizh Ibn Syahin.
.
Yang dimaksud dua Imam agung yang saleh ini adalah; pertama, al-Imâm Ja’far ash-Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir, orang yang dianggap kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka hingga mereka menyandarkan kepadanya keyakinan-keyakinan buruk mereka, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan demikian.
.
Dan yang kedua adalah al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, orang yang dianggap oleh sebagian orang yang mengaku sebagai pengikutnya,namun mereka menetapkan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan terhadapnya, seperti akidah tajsîm , tasybîh , anti takwil, anti tawassul, dan lainnya yang sama sekali hal-hal tersebut tidak pernah diyakini oleh al-Imâm Ahmad sendiri.
.
Di masa sekarang ini,
madzhab Hanbali lebih banyak lagi dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya, mereka adalah kaum Wahhabiyyah, yang
telah mencemari kesucian madzhab al-Imâm Ahmad ini
dengan segala keburukan keyakinan dan ajaran-ajaran
mereka.
.
Hasbunallâh. Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab
Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzîh menuliskan
sebagai berikut:
.
“Saya melihat bahwa ada beberapa orang yang mengaku
di dalam madzhab kita telah berbicara dalam masalah
pokok-pokok akidah yang sama sekali tidak benar. Ada tiga orang yang menulis karya untuk itu;
.
Abu Abdillah ibn Hamid,
al-Qâdlî Abu Ya’la,
dan Ibn az-Zaghuni.
.
Tiga orang ini telah menulis buku yang mencemarkan madzhab
Hanbali. Saya melihat mereka telah benar-benar turun kepada derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi. Ketika mereka mendengar hadits ”Innallâh Khalaqa Adâm ‘Alâ Shûratih”, mereka lalu menetapkan shûrah (bentuk) bagi Allah, menetapkan adanya wajah sebagai tambahan bagi Dzat- Nya, menetapkan dua mata, menetapkan mulut, gigi dan gusi. Mengatakan bahwa wajah Allah memiliki sinar yang
sangat terang, menetapkan dua tangan, jari-jemari, telapak tangan, jari kelingking, dan ibu jari. Mereke juga menetapkan dada bagi-Nya, paha, dua betis, dan dua kaki.
.
Mereka berkata; Adapun penyebutan tentang kepala kami
tidak pernah mendengar. Mereka juga berkata; Dia dapat menyentuh dan atau disentuh, dan bahwa seorang hamba yang dekat dengan-Nya adalah dalam pengertian kedekatan jarak antara Dzat-Nya dengan dzatnya. Bahkan sebagian mereka berkata; Dia bernafas. Lalu untuk mengelabui orang-orang awam mereka berkata; ”Namun perkara itu semua tidak seperti yang terlintas dalam akal”.
.
Mereka telah mengambil makna zahir dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, lalu mereka mengatakan, seperti yang dikatakan para ahli bid’ah, bahwa itu semua adalah sifat-sifat Allah. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil-dalil
tekstual maupun dalil-dalil akal.
.
Mereka berpaling dari teks-teks muh kamât yang menetapkan bahwa teks- teks Mutasyâbihât tersebut tidak boleh diambil makna zahirnya, tetapi harus dipahami sesuai makna-makna
yang wajib bagi Allah, dan sesuai bagi keagungan- Nya. Mereka juga berpaling dari pemahaman bahwa sebenarnya menetapkan teks-teks Mutasyâbihât secara
zahirnya sama saja dengan menetapkan sifat-sifat baru bagi Allah.
Perkataan mereka ini adalah murni sebagai akidah tasybîh , penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ironisnya, keyakinan mereka ini diikuti oleh sebagian orang awam.
.
Saya telah memberikan nasehat kepada mereka semua tentang kesesatan akidah ini, baik
kepada mereka yang diikuti maupun kepada mereka
yang mengikuti. Saya katakan kepada mereka: “
Wahai
orang-orang yang mengaku madzhab Hanbali, madzhab kalian adalah madzhab yang mengikut kepada al-Qur’an dan hadits,

Imam kalian yang
agung; Ahmad ibn Hanbal di bawah pukulan cambuk,
-dalam mempertahankan kesucian akidahnya- berkata:
“Bagaimana mungkin aku berkata sesuatu yang tidak
pernah dikatakan Rasulullah!?”.

 Karena itu janganlah kalian mangotori madzhab ini dengan ajaran-ajaran yang sama sekali bukan bagian darinya”lihat
Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 7-9
.
Tiga orang dinyatakan Ibn al-Jawzi di atas sebagai orang-orang pencemar nama baik madzhab Hanbal:
.
Orang pertama adalah Abu Abdillah ibn Hamid , nama
lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Hasan ibn Hamid ibn Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat tahun 403 Hijiriah.

 Di masa hidupnya, dia adalah salah seorang terkemuka di kalangan madzhab Hanbali, bahkan termasuk salah
seorang yang cukup produtif menghasilkan karya tulis di kalangan madzhab ini.
.
Di antara karyanya adalah
Syarh Kitâb Ushûl ad-Dîn , hanya saja kitab ini, juga beberapa kitab karyanya penuh dengan kesesatan akidah tajsîm,

 Dari tangan orang ini pula lahir salah
seorang murid terkemukanya, yang sama persis dengannya dalam keyakinan tasybîh , yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali.
.
Orang kedua; al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali, nama lengkapnya ialah Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husain ibn Khalaf ibn al-Farra’ al-Hanbali, wafat tahun 458 . Hijriah,

Ia adalah salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab, –sama seperti gurunya tersebut di
atas–, atas tercemarnya kesucian madzhab Hanbali.
.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka bernama Abu
Muhammad at-Tamimi berkata: “Abu Ya’la telah mengotori madzhab Hanbali,

 dengan satu kotoran yang tidak akan dapat dibersihkan walaupun dengan air
lautan”.

Di antara karya Abu Ya’la ini adalah Thabaqât al-H anâbilah ; di dalamnya terdapat perkataan-
perkataan tasybîh yang secara dusta ia sandarkan kepada al-Imâm Ahmad ibn Hanbal.
.
Padahal sedikitpun
al-Imâm Ahmad tidak pernah berkeyakinan seperti apa
yang ia sangkakannya. Termasuk salah satu karya Abu Ya’la adalah kitab berjudul Kitâb al-Ushûl,

, juga di dalamnya banyak sekali keyakinan-keyakinan tasybîh; di antaranya dalam buku ini ia menetapkan bentuk dan
ukuran bagi Allah.
.
PRINGATAN !
.
al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim ini berbeda dengan al-Hâfizh Abu
Ya’la !! Jangan salah
.
JGN SALAH !!
Yang pertama; al-Qâdlî Abu Ya’la adalah seorang Mujassim murid dari Abu Abdillah ibn Hamid, seperti yang telah kita tuliskan di atas.
Sementara al-Hâfizh Abu Ya’la adalah salah seorang Imam besar dan terkemuka dalam hadits yang tulen sebagai seorang sunni, nama lengkap beliau adalah Abu Ya’la Ahmad
ibn Ali al-Maushili, penulis kitab Musnad yang kenal dengan Musnad Abû Ya’lâ .
.
Adapun orang yang ketiga, yaitu Ibn az-Zaghuni , nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Abdillah ibn Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat
tahun 527 Hijriah.
.
Orang ini termasuk salah satu guru dari al-H âfizh Ibn al-Jawzi sendiri. Ia menulis beberapa
buku tentang pokok-pokok akidah, salah satunya pembahasan tentang teks-teks mutasyâbihât berjudul al-Idlâh Min Gharâ-ib at-Tasybîh , hanya saja di dalamnya ia banyak menyisipkan akidah-akidah tasybîh.
Al-H âfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at- Tasybîh selain menyebutkan tiga orang yang harus bertanggaung jawab terhadap tercemarnya madzhab
Hanbali, beliau menuliskan pula bantahan-bantah
an atas orang-orang berakidah tasybîh dan tajsîm yang mengaku bermadzhab Hanbali secara umum. ..
.
Di antara apa yang dituliskan beliau sebagai berikut:
.
“Janganlah kalian masukan ke dalam madzhab orang saleh dari kalangan Salaf ini (al-Imâm Ahmad ibn Hanbal) sesuatu yang sama sekali bukan dari rintisannya. Kalian telah membungkus madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk. Karena sebab kalian menjadi timbul klaim bahwa tidak ada seorangpun yang bermadzhab Hanbail kecuali pastilah ia sebagai mujassim. Bahkan, ditambah atas itu semua, kalian telah mengotori madzhab ini dengan mananamkan sikap panatisme terhadap Yazid ibn Mu’awiyah.
.
Padahal kalian telah tahu bahwa al-Imâm Ahmad sendiri membolehkan untuk melaknat Yazid. Dan bahkan Abu Muhammad ata-Tamimi berkata tentang beberapa orang pimpinan dari kalian bahwa kalian telah mengotori madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk yang tidak akan dapat dibersihkan hingga hari kiamat”
.Lihat Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 10
.
Al-H âfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab Manâqib
al-Imâm Ahmad pada bab 20 menuliskan secara detail
tentang keyakinan al-Imâm Ahmad: “Keyakinan al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbal dalam pokok-pokok akidah”, Ia (al- Imâm Ahmad) berkata tentang masalah iman: “Iman adalah ucapan dan perbuatan yang dapat bertambah
dan dapat berkurang, semua bentuk kebaikan adalah bagian dari iman dan semua bentuk kemaksiatan dapat mengurangi iman”.
.
Kemudian tentang al-Qur’an
al-Imâm Ahmad berkata: “al-Qur’an adalah Kalam Allah
bukan makhluk. Al-Qur’an bukan dari selain Allah. tidak ada suatu apapun dalam al-Qur’an sebagai
sesuatu yang makhluk. Barangsiapa mengatakan
bahwa al-Qur’an makhluk maka ia telah menjadi kafir”.
4. AKIDAH IMAM MALIK.
Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al- Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi
Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam
Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
.
Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta).
.
Dalam penjelasan hadits ini al-
Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus
menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut
nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman
akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah
arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah,
keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnyatidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan
mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di
atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini
oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa.)
.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’
Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malikdari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn
Wahb-, berkata:
.
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.
.
Abdullah ibn Wahab berkata:
.
Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa
sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau
ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,
keluarkan orang ini dari sini”.
.
Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al- Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".
perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-
kata “Bagaimana?”.
.
Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka
tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al- Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan:
.
“al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-
Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an.
.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di
dalam al-Qur’an.
.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna
duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita.
.
FITNAH AKIDAH ATAS NAMA IMAM MALIK.
.
Terkait penjelasan diatas golongan Wahhabiyyah memelintir,menyalah artikan makna al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut.
.
Mereka mengatakan bahwa
Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya
saja, (menurut mereka) Kayfiyyah-Nya tidak
diketahui. ini jelas menyalah artikan penjelasan imam malik.
Padahal yg dimaksud perkataan
al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda.
.
Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota
badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah
maha suci dari pada anggota-anggota badan.
.
Kaum Musyabbihah seperti kaum
Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering
mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”.
.
Perkataan semacam ini sama
sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya.
.
Tujuan kaum Musyabbihah
mengucapkan kata tesebut jelas untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu
mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui.
.
Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui".
.
Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui".
.
jadi, Perkataan kaum
Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” menipu orang- orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik padahal tdk demikian.ini fitnah !
.
perhatikan lagi :
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:
.
Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya berkata:
Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al- arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah?
.
Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-
Istiwa’ telah jelas penyebutannya dalam al-Qur’an- (al- Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah
wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”.
Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.
.
Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.408).
.
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah
al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al- Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
.
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut
sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu
mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini
menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini
secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain.
.
Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut,
namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk
tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
.
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk- Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini
sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al- Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang
berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
.
Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh
Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
.
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an- Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit).
.
Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang
yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:
.
“’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
.
Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah
seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
.
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada
al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali
tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali
dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada
al-Imam Malik adalah fitnah dan dusta !
.
Kesimpulan yg jelas bahwa semua akidah madzab adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TIDAK BERARAH
Sedangkan pernyataan Golongan semacam wahabi yg mengatakan bahwa semua imam madzab berkeyakinan "ALLAH BERSEMAYAM DIATAS ARASY" Adalah DUSTA,FITNAH DAN MENIPU SELURUH UMAT ISLAM.
Ustadz,ulama Wahabi juga MEMBODOHI pengikut awamnya yang hanya MEMBEBEK saja dan tidak pernah mengkaji jika para ustadz,ulamanya sedang menjerumuskan kedalam lembah kesesatan bahkan kafir ! Menyembah Tuhan berhala tetapi berbaju islam.!
.
AKIDAH KAFIR.
.
Simak tanggapan ahli ulama Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan , asy- Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﻓﻤﻦ ﺃﻇﻠﻢ ﻣﻤﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺍﺩﻋﻰ ﺍﺩﻋﺎﺀً ﻣﻌﻴﻨًﺎ ﻣﺸﺘﻤﻼً ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥﻭﺍﻟﻬﻴﺌﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﺔ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﻭﺛﺒﻮﺕ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ، ﻓﻴﺼﻴﺮ ﻛﺎﻓﺮًﺍ ﻻ ﻣﺤﺎﻟﺔ ”
.
“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau
menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
.
Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻗﺒﻞ ﻭﻗﻮﻋﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺇﻥ ﻋُﺪّ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞﺍﻟﺒﺪﻋﺔ، ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﺑﺄﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺟﺴﻢ ﻭﻟﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻳﻤﺮّ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻓﺮ،ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﺗﺜﺒﺖ ﻟﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ”
.
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah
adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah
terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-”.
.
Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al- Qari’ menuliskan sebagai berikut:
.
“ ﺑﻞ ﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻣﻨﻬﻢ ـ ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ـ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻠﻒ ﺇﻥ ﻣﻌﺘﻘﺪ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﻛﺎﻓﺮ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡﺑﻪ ﺍﻟﻌﺮﺍﻗﻲ، ﻭﻗﺎﻝ : ﺇﻧﻪ ﻗﻮﻝ ﻷﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭﺍﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ”
.
“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi.
.
Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang
telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik,al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-
Baqillani”.
.
nah disini makin jelas..wahabi salafi anti madzab.karna keyakinan dan pendapat wahabi terhadap keberadaan
Allah berbeda.(Ilmu akidah Dan tauhid)
.
kesimpulan paling vital adalah.. siapa yang salah akidah..maka ia salah mengenal Tuhan sekalipan megaku Islam.dan seorang yang mengaku Islam yang salah
Akidah maka Tuhan yang dimaksud BERBEDA.( hanya
orang awam yang megtakan sesama islam seakidah)
dan jika akidahnya salah..maka mau sholat serbu kali..naik haji seratus kali.. sama dengan kaum yahudi atau kristen sholat dan naik haji..BOHONG DAN BATHIL
KARNA TUHANNYA LAIN.
.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
.
ﻻَ ﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓُ ﺇﻻّ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩِ
.
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah
mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
.
Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
.
ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥَّ ﺇِﻟﻬَـَﻨَﺎ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩٌ ﻓَﻘَﺪْ ﺟَﻬِﻞَ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺒُﻮْﺩَ ‏( ﺭَﻭَﺍﻩ ﺃﺑُﻮ ﻧُﻌَﻴﻢ )
.
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada- Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
.
ﺻُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻋَﻘَﺎﺋِﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﻤَﺴُّﻚِ ﺑِﻈَﺎﻫِﺮِ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﻪَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ
ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang
kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran !!!”
.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
.
ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﺻَﻒَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑِﻤَﻌْﻨًﻰ ﻣِﻦْ ﻣَﻌَﺎﻧِـﻲ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮْ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﻔَﺮَ
.
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat
manusia maka ia telah kafir”.
Allah ta'ala telah berfirman:
ﻓَﻼَ ﺗَﻀْﺮِﺑُﻮْﺍ ﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷﻣْﺜَﺎﻝَ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ : 74 )
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
.
Allah berfirman:
.
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻰﺀٌ ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ : 11 )
.
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-
Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
.
PERHATIKAN AKIDAH RASLULLAH SBB:
.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah
ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
.
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu
(selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat,waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah
dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah,karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
.
Arah,tempat dan waktu tdk bisa di difinisikan ketika segalanya belum tercipta.
Kita tdk bayangkan arah itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan tempat itu bagaimana.
Kita tdk bisa bayangkan waktu itu bagaimana.
Ketika semuanya FANA maka kita tdk bisa mengukur ukur,menilai nilai,menebak nebak hal yg tdk ada selain hanya Allah yang ada dan tdk di ketahui keberadaan-NYA.
.
ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩٌ ﺑِﻼَ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﻭَﻻَ ﺟِﻬَﺔٍ

"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah !!".

Rabu, 18 Juli 2018

DZIKR ZAHAR SECARA BERJAMAAH


Apakah benar ulama’ dari madzhab asy-Syafi’iyyah membenci DZIKIR BERJAMAAH seperti yang diklaim oleh salah satu komentator blog tadi?
Baiklah, berikut ini saya sajikan kajian dari kitab al-Hawi li al-Fatawi dan saya lampirkan scan halaman per halamannya serta saya terjemahkan. Silakan disimak baik-baik.
Hasil Penelaahan Mengenai Permasalahan Berdzikir dengan Jahr
(Dzikir dengan Mengeraskan Suara)
Dengan asma’ Alloh yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, segala puji bagi Alloh yang memberikan kecukupan bagiku, dan keselamatan kesejahteraan bagi hamba-Nya yang terpilih.
Aku bertanya kepadamu (wahai Syaich as-Suyuthi) semoga Allah Ta’aala memuliakanmu, mengenai suatu hal yang umum dilakukan para pemuka shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah dzikr dan men-jahr-kannya di dalam masjid dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini makruh atau tidak?
Jawabannya adalah:
Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara jahr, selain itu terdapat pula hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara sirr (pelan) sehingga perlu dikompromikan kedua cara berdzikir tersebut, yang mana hal tersebut dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi. Sebagaimana al-Imaam an-Nawawi mengkompromikan hadits-hadits tentang disunnahkannya membaca Al-Quran secara jahr, dan (hadits-hadits) yang menyebutkan tentang diperbolehkannya membacanya secara sirr, berikut ini akan saya jelaskan secara fasal demi fasal.
Selanjutnya beliau (al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah) menyebut hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengeraskan suara pada saat dzikir, baik secara shorih (terang) maupun iltizam (tersirat).
1.    Hadits Pertama:
Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam: Alloh Ta’aala berfirman: “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahr.”
2.    Hadits Kedua:
Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda: Majlis-majlis dzikr, sebaiknya kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang.
3.    Hadits Ketiga:
Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila mereka menemukan majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai langit,  maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah mendatangi hamba-Mu yang bertasbih, bertakbir, bertahmid,  bertahlil, memohon kepada Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka menjawab: Kami memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat Surga?. Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?, kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui perihal mereka. Mereka menjawab: (Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah berfirman: Apakah kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman: Bagaimana seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman: Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, dan Aku perkenankan permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka atas apa-apa yang mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya didalamnya (majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya dan dia bukanlah bagian dari mereka (yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum itu adalah kaum yang tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.
4.    Hadits Keempat
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya.
5.    Hadits Kelima
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda: “Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.”
6.    Hadits Keenam
Diriwayatkan oleh al-Hakim sekaligus beliau menshohihkannya dan Baihaqi di dalam Sya’b al-Imaan dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah olehmu di dalam berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga mereka (kaum munafiquun) mengatakan bahwa kalian adalah ‘orang gila’.“
7.    Hadits Ketujuh
Berkata al-Baihaqi di dalam Syu’b al-Imaan dari abu al-Jauza’ radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga kaum munafiquun berkata, ‘Kalian gila’.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: Ini hadits mursal, adapun tujuan pendalilan menggunakan hadits ini dan yang sebelumnya lebih ditujukan untuk dzikir jahr, bukan dzikir sirr.
8.    Hadits Kedelapan
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Sahabat Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Apabila kalian menemukan taman-taman surga, maka ramaikanlah ia.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullaah, apakah yang disebut taman surga itu?” Beliau bersabda: “Halaqah dzikir.”
9.    Hadits Kesembilan
Diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad, dari ‘Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari majelis menyeru dan mengagungkan Allah Ta’aala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau bersabda: “Kedua-duanya baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang satunya).”
10.    Hadits Kesepuluh
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullaah ibn Mughaffal berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Tiada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala kecuali mereka akan dipanggil oleh para pemanggil dari langit: ‘Bangunlah kalian, sesungguhnya kalian sudah diampuni, sungguh keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.”
11.    Hadits Kesebelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Berfirman Allah Ta’aala pada hari Qiyamah: ‘Orang-orang yang dikumpulkan pada hari ini akan mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang mulia’. Para sahabat bertanya: ’Siapakah yang termasuk orang-orang mulia tersebut Wahai Rasulullaah?’. Beliau bersabda: ‘Majelis-majelis dzikir di masjid’. ”
12.    Hadits Keduabelas
Diriwiyatkan oleh al-Baihaqi dari ibnu Mas’ud radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya gunung memanggil gunung lainnya dengan namanya dan bertanya: ‘Wahai fulan, apakah kamu hari ini sudah dilewati orang yang berzikir kepada Allah?’ Yang apabila dijawab: ‘Ya’ mereka akan merasa sangat gembira. Kemudian Abdullah membaca ayat: ‘(Perkataan gunung) Sungguh-sungguh kalian telah mendatangkan ‘idda (kemunkaran yang sangat besar), sehingga hampir-hampir langit pecah berkeping-keping.’ Beliau berkomentar: ‘Apakah mereka (gunung-gunung) hanya mendengar kemunkaran, dan tidak mendengar kebaikan?’”
13.    Hadits Ketigabelas
Diriwayatkan oleh ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya, dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu mengenai firman Allah Ta’aala: “Maka tidaklah langit dan bumi menangis atas mereka”. Bersabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Bahwasanya apabila seorang mukmin wafat, menangislah bumi tempat dia sholat dan berdzikir kepada Allah.” Diriwayatkan pula oleh ibn Abi ad-Dunya dari Abu Ubaid berkata: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin wafat, maka berserulah bongkahan bumi: ‘Hamba Allah ‘ta’aala yang mukmin telah wafat!’, maka menangislah atasnya bumi dan langit, kemudian ar-Rahmaan berfirman: ‘Mengapa kalian menangisi hamba-Ku?’. Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, tidaklah dia berjalan di suatu daerah kami melainkan ia berdzikir kepada-Mu ’  ”
Tujuan pendalilan menggunakan hadits ini adalah: “Dengarnya gunung dan bumi akan dzikir tidak lain dikarenakan dzikir tersebut di-jahr-kan”
14.    Hadits Keempatbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi dengan sanad Shohih dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Allah Ta’aala berfirman: “Wahai hamba-Ku apabila engkau berdzikir kepada-Ku di dalam kesunyian, maka Aku akan mengingatmu di dalam kesunyian pula, dan apabila engkau berdzikir kepada-Ku dalam kelompok yang banyak, maka Akupun akan mengingatmu di dalam kelompok yang jauh lebih baik dan lebih besar”
15.    Hadits Kelimabelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Zaid ibn Aslam berkata: Berkata ibn Adra’: “Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata: ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang Riya’ (memamerkan ibadahnya)?’ Beliau bersabda: ‘Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu’”. Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari ‘Uqbah ibn ‘Amir: Bahwasanya Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepada seorang lelaki bernama Dzul Bajadain: “Sesungguhnya dia banyak berdo’a dan mengadu, itu semua karena dia selalu berdzikir kepada Allah Ta’aala”. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwasanya ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya ketika berdzikir sehingga lelaki yang lainnya berkata, “Seandainya saja orang ini merendahkan suaranya.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia sedang berdoa dan mengadu.”
16.    Hadits Keenambelas
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Syaddad ibn Aus berkata: “Sesungguhnya kami sedang bersama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pada saat beliau bersabda: ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah  لا اله الا الله ’, maka kami melaksanakan perintah beliau”. Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau utus aku karena kalimah ini, Engkau perintahkan aku juga karenanya, Engkau janjikan aku surga juga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda kepada para sahabat: “Bergembiralah kalian, karena Allah sudah mengampuni kalian semua.”
17.    Hadits Ketujuhbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas radhiyallaah ‘anhu dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya Allah Ta’aala memiliki Malaikat Sayyarah yang mencari halaqah-halaqah dzikir. Dan apabila mereka menemukannya maka mereka mengelilingi tempat-tempat tersebut. Kemudian Allah Ta’aala berfirman: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak mencelakakan pendatang yang ikut duduk bersama mereka.”
18.    Hadits Kedelapanbelas
Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan ibn Jarir, dari Abdurrahman ibn Sahl ibn Hanif berkata: “Saat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berada di salah satu rumahnya, diturunkanlah ayat: “Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi hari dan petang hari.” (Ayat). Kemudian beliau keluar kepada sahabat dan mendapati mereka sedang berdzikir, diantara mereka ada yang sudah beruban, kusam kulit dan hanya memiliki satu pakaian. Melihat mereka, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam duduk bersama mereka dan bersabda: “Segala puji bagi Allah Ta’aala yang telah menjadikan diantara kalangan ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
19.    Hadits Kesembilanbelas
Diriwayatkan oleh al-Imaam Ahmad di dalam az-Zuhd dari Tsabit berkata: “Salman berada di dalam sebuah kelompok yang berdzikir kepada Allah Ta’aala, kemudian Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti, kemudian beliau bersabda: “Apa yang kalian ucapkan?”. Jawab kami: “Kami berdzikir kepada Allah Ta’aala.” Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya aku melihat rahmat turun atas kalian, aku menginginkan bersama-sama kalian di dalam rahmat tadi.” Selanjutnya beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”
20.    Hadits Keduapuluh
Diriwayatkan oleh al-Ishbahani di dalam at-Targhiib, dari Abu Razin al-Aqili, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepadanya: “Maukah engkau aku tunjukkan rajanya perkara yang dengannya engkau dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat?”, dia menjawab: “Mau, wahai Rasulullaah.” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau sering-sering mendatangi majelis-majelis dzikir, dan apabila engkau sedang dalam keadaan sendirian, maka gerakkanlah lisanmu untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala.”
21.    Hadits Keduapuluh satu
Diriwayatkan oleh ibn Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, dan al-Ishbahani dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat shubuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang disinari matahari. Dan sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat ‘ashar hingga terbenamnya matahari, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”
22.    Hadits Keduapuluh Dua
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah atas persetujuan dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku selalu mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.”
23.    Hadits Keduapuluh Tiga
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallaah ‘anhu bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke dalam pasar kemudian mengucap:

لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو على كل شيء قدير

Maka Allah Ta’aala akan menetapkan baginya sejuta kebaikan dan menghapus sejuta keburukan, dan menaikkan derajatnya dengan sejuta derajat dan dibuatkan rumah di Surga.”
Di dalam beberapa thuruq (jalur mata rantai periwayatan) di hadits ini tertulis “ فنادى ”
Artinya: “Menyeru.”
24.    Hadits Keduapuluh Empat
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dan beliau menyatakan shohih, dan an-Nasa’i serta ibn Majah, dari Sa’ib bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Jibril ‘alahissalaam mendatangiku dan berkata: ‘Perintahkan para sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka di dalam bertakbir.’”
25.    Hadits Keduapuluh Lima
Diriwayatkan oleh al-Maruwzi di dalam kitab al-‘Iidain dari Mujahid, bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhuma mendatangi pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) maka keduanya bertakbir. Tidaklah mereka mendatangi pasar kecuali untuk bertakbir. Dan diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid ibn ‘Umair berkata: Sesungguhnya ‘Umar selalu bertakbir di dalam qubbahnya, sehingga seisi masjid juga bertakbir, dan juga seisi pasar juga bertakbir, sehingga seluruh Mina bergemuruh suara takbir. Dan diriwayatkan pula dari Maimun ibn Mahran berkata: Aku dapati manusia mengumandangkan takbir di hari ke sepuluh (dzulhijjah)  sehingga aku memisalkannya seperti gelombang lautan dikarenakan begitu banyaknya.

[Fasal]

Kalau engkau mau memikirkan secara mendalam atas hadits-hadits yang telah kami kemukakan di atas, nyatalah bahwasanya seluruhnya tidak memakruhkan mengeraskan suara di dalam berdzikir, sama sekali tidak, akan tetapi semuanya menunjukkannya sebagai kesunnahan, baik secara langsung maupun secara tersirat seperti halnya yang sudah kami paparkan diatas.
Adapun apabila hadits-hadits di atas secara lahiriyahnya bertentangan dengan hadits: “Sebaik-baik dzikr adalah yang tersembunyi (sirr)”, maka dapat dibandingkan secara mu’aradhah antara hadits-hadits jahr dan sirr di dalam membaca Al-Quran, seperti juga dengan bersedekah secara sirr.  Dalam hal ini al-Imaam an-Nawawi rahimahullaah mengkompromikan hadits-hadits tersebut dengan kesimpulan: “Menyembunyikan (sirr) lebih baik kalau khawatir akan menimbulkan riya’, mengganggu orang yang sedang sholat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan jahr lebih baik dilakukan apabila diluar kondisi-kondisi di atas. Karena pada dzikir secara jahr mengandung banyak amalan, faedahnya dapat mengalir kepada para pendengarnya, disamping agar hati para pedzikir terjaga dan mengkonsentrasikan niatnya kedalam fikirannya serta pendengaran menyimak alunan dzikir sehingga dapat mengusir rasa kantuk dan semakin menambah semangat di dalam berdzikir.”
Beberapa ulama’ berpendapat Sunnah men-jahr-kan sebagian bacaan Al-Quran dan men-sirr-kan sebagiannya. Karena boleh jadi orang yang men-sirr-kan bacaannya merasa bosan dan menyukai kembali apabila membacanya secara jahr. Dan terkadang orang yang men-jahr-kan merasa lelah, sehingga ia dapat beristirahat dengan men-sirr-kan bacaannya. Selesai.
Demikian pula pendapat kami (as-Suyuthi) tentang dzikir, dipilah-pilah seperti ini. Dengan demikian, berhasillah dikompromikan antara hadits-hadits yang mu’aradhah (bertentangan).
Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.”
Aku (as-Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:
Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat Al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengeraskan bacaan Al-Quran dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka musyrikin mencaci-maki ayat-ayat Al-Quran dan yang menurunkannya (Allah Ta’aala). Lalu Allah Ta’aala memerintahkan untuk meninggalkan jahr untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Kedua: “Sebagian mufassir, diantaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan Al-Quran, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati Al-Quran, agar suara dzikir tidak dikeraskan disisinya. Hal ini diperkuat oleh firman sebelumnya: ”Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: ‘Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seolah-olah ada kekhawatiran akan kecenderungan kepada menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’aala. Karena itu, ayat ini diakhiri dengan: ”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’aala).”
Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan buat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran yang jelek, dianjurkanlah mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan Al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal berkata: bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para Malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaan dia, dan sesungguhnya seluruh jin mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.
Kalau engkau bertanya: (bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:
Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan Hakim dalam kitab Mustadraknya, sekaligus men-shohihkannya, dari Abu Nu’amah radhiyallaah ‘anh, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ‘Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka’”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.
Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berzikir. Secara khusus doa memang lebih afdhal di-sirr-kan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’aala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunatkan men-sirr-kan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.
Kalau engkau bertanya: Telah dinukilkan dari ibn Mas’ud, bahwa beliau menyaksikan suatu kelompok orang yang menyaringkan suara tahlil dalam mesjid, lalu berkata: ”Aku tidak melihat kepada kalian kecuali hanya orang-orang pembuat bid’ah semata”. Kemudian beliau mengusir mereka dari masjid.
Aku (as-Suyuthi) menjawab: Atsar Ibnu Mas’ud ini butuh kepada menjelaskan sanad-sanadnya dan siapa saja yang ada mengeluarkannya dalam kitabnya diantara para Imam Hafidh hadits. Dan, katakanlah memang Atsar itu ‘tsabit’, tetapi kemudian bertentangan dengan banyak hadits yang telah ‘tsabit’ pula di atas. Dan hadits lebih diutamakan kalau terjadi ‘ta’arrudh’. Kemudian, aku melihat secara tidak langsung ada keingkaran dari Abdullah bin Mas’ud terhadap atsarnya sendiri. Diantaranya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Az-Zuhd: ‘Husen bin Muhammad menceritakan kepada kami, Mas’udy menceritakan kepada kami dari ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa-il berkata: ”Banyak orang yang menduga bahwa Abdullah bin Mas’ud selalu melararang berzikir (secara jahr), tetapi tidaklah aku duduk bersamanya di suatu tempat kecuali beliau selalu berdzikir”. Imam Ahmad mengeluarkan dalam ‘Az-Zuhd’ dari Tsabit Al-Banany berkata: ”Sesungguhnya ahli dzikir ketika duduk hendak berdzikir dengan beban dosa yang semisal gunung sekalipun, maka sesungguhnya tatkala mereka bangun dari ‘dzikrullah’ ia tidak lagi mempunyai dosa sedikitpun.
Selesai
Demikian terjemah dari kitab al-Hawi li al-Fatwi pada Sub Bab Natiijat al-Fikr Fi al-Jahr Fi adz-Dzikr yang dapat saya sampaikan, yang menunjukkan dalil-dalil shohih atas disunnahkannya berdzikir secara jahr dan berjamaah yang sudah umum dilaksanakan dan diamalkan di kalangan kaum ahlussunnah wal jama’ah. Semoga bermanfaat.
Wallaahu a’lam