Minggu, 24 Desember 2017

DEFENISI URF

A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata al-'urf (العُرْف) bermakna al-khairu (الخيْر), al-ihsanu (الإحسان), dan ar-rifqu (الرِّفْق), yang semuanya bermakna kebaikan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, al-'urf bermakna :
ما اعْتاد النّاسُ وسارُاوا عليْهِ فِي أُمُورِ حياتِهِمْ ومُعاملاتِهِمْ مِنْ قوْلٍ أوْ فِعْلٍ أوْ ترْكٍ
Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.
Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (العادة), atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu.
Ada juga definisi al-urf yang lain, misalnya :
ما اسْتقرّ فيِ النُّفُوسِ مِنْ جِهّةِ العُقُولِ و تلقّتْهُ الطِّباعُ السّلِيْمةُ بِالقبُولِ
Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat.
3. Antara Urf dengan Adat
Antara Urf dengan adat istiadat ada persamaan namun juga ada perbedaan.
  • Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk. 
  • Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan danmengkonsumsi jenis makanan tertentu.
  • Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak.
  • Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. Urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan.
  • ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya harta bersama, konsinyasi, urbun dan lainnya.
B. Kedudukan Urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan mu’amalah dan selama tidak bertentangan dengan syara'.
Demikian pula ketika syariat menetapkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari nash itu sendiri maupun dari segi penggunaan bahasa.
Seperti ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah,
Demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf shahih khash.
C. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf
Atas dasar itulah para ahli ushul fiqih membuat Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf, antara lain
1. Kaidah Pertama
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum."
2. Kaidah Kedua
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْحُكْمِ بِتَغَيُّرِ الأَمْكِنَةِ وَالأَزْمَانِ
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan tempat dan masa."
3. Kaidah Ketiga
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَظَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ اللُّغَةَ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ
“Setiap ketentuan yang diterangkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada pembatasnya dalam syara da tidak ada juga dalam ketentuan bahasa, maka ketentuan itu dikembalikan kepada ‘urf”
D. Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya
Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat perkataan (qauli) dan yang bersifat perbuatan (amali).
1. Urf Qauli
Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim memiliki makna tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat yang lain yang urfnya berbeda, maknanya bisa saja berbeda.
a. Dirham untuk Uang
Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau menyebut dirham berarti maksudnya adalah uang.
b. Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat
Di masyarakat tertentu makna daabbah (دابة) hanya terbatas pada hewan yang berkaki empat. Padahal secara makna bahasa, daabbah adalah segala hewan yang melata di atas bumi, termasuk ayam, ular dan lainnya.
c. Tha'am dan Burr
Ibnu Abidin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika orang Arab kata tha'am (طعام), maka yang dimaksud bukan sekedar makanan, tetapi burr (بر), yaitu gandum.
Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (تحم) maka yang dimaksud bukan sedekar daging melainkan daging kambing.
d. Dalam Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i. Lafadz sharih adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang searti dan tidak bisa diterjemahkan selain talak.
Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.
Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan cerai.
Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf yang lazim dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka jatuhlah talak kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum jatuh talak.
2. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.
a. Jual Beli Tanpa Lafadz Akad
Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad transaksi yang tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah bersepakat dan saling rela untuk bertransaksi.
Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual berkata,"Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian", lalu pembeli harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli barang ini dengan harga sekian, tunai".
Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang ini, khususnya untuk jual-beli yang ringan nilainya.
Akad jual-beli seperti ini dalam ilmu fiqih muamalat disebut dengan akad mu'athah (معاطاه).
b. Mahar Muqaddam dan Muakhkhar
Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita tidak dikenal, yaitu mahar atau mas kawin dibagi menjadi dua macam, yaitu muqaddam dan muakkhar.
Mahar muqaddam adalah mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar diberikan kemudian.
E. Urf Aam dan Urf Khash
a. 'Urf Aam
Urf 'Aam 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:
مَنْ شَفَعَ لأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَبَى بَابًا عَظِيْمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.
b. 'Urf Khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
F. Urf Shahih dan Urf Fasid
Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan yang fasid.
1. ‘Urf Yang Shahih
‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta akhlaq yang islami.
Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum masa kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan makan, minum dan tempat tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai di dalam syariat Islam.
Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti itu dilestarikan dan tidak dihapus, karena sesuai dengan ajaran Islam.
2. ‘Urf Yang Fasid
Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks syariah dan kaidah-kaidahnya.
Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum khamar, makan riba dan sejenisnya.
Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita.
G. Syarat- ‘Urf Diterima Sebagai Dalil
Agar sebuah urf bisa diterima sebagai dalil dalam pengambilan hukum, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat itu antara lain :
1. Tidak Bertentangan Dengan Nash
Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan dengan nash syariah.
Misalnya kebiasaan buruk di tengah masyarakat untuk melakukan riba dan renten, tentu tidak bisa diterima sebagai ‘urf yang menjadi dalil.
2. Mengandung Maslahat
Syarat ketiga adalah bahwa urf tersebut mengandung banyak maslahat bagi masyarakat.
Misalnya, urf atau kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bahwa penjual dan pembeli tidak harus saling bercakap-cakap secara langsung dalam akad jual-beli. Namun cukup dengan kode atau isyarat saja, asalkan keduanya sama-sama paham dan mengerti serta saling bersepakat, maka hakikat akad jual-beli sudah dianggap sah.
Sebab kalau setiap akad jual-beli harus dilakukan dengan mengucapkan lafadz ijab dan kabul, tentu akan merepotkan. Bayang seorang kasir di mini market yang melayani ratusan pembeli dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli rata-rata 10 item, kita tidak membayangkan bagaimana mulut kasir akan berbusa.
3. Berlaku Pada Orang Banyak
Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti semua orang memang mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
4. Sudah Berlaku Lama
Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara kurun waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-masa sebelumnya dan bukan yang muncul kemudian.
5. Tidak Bertentangan Dengan Syarat Dalam Transaksi

Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi yang sudah baku dalam hukum fiqih muamalat.

Kamis, 14 Desember 2017

DALIL SALAMAN KETIKA SELESAI SHOLAT

JANGAN KATAKAN TIDAK ADA
TERHADAP SESUATU YG BELUM KITA KETAHUI
========================

 pada khususnya yg mengatakan bahwa " mengusap wajah dan membalik telapak tangan ketika Do'a Qunut serta salaman seusai sholat yg katanya tidak ada satupun dalil haditsnya."

Dalam mensikapi DALIL yg belum kita ketahui keberadaannya, alangkah lebih baiknya bila kita katakan saja :

"SAYA BELUM MENEMUKAN DALILNYA."

Saya kira cara ini akan lebih selamat daripada langsung memvonis dengan mengatakan:

"TIDAK ADA DALILNYA"

Karena yg namanya DALIL , terlebih lagi dalil tsb berupa hadits atau atsar dari Shohabat nabi jumlahnya sangat banyak sekali bahkan mencapai jutaan.

Sementara dari sekian juta jumlah DALIL tsb, tinggal berapa ratus atau puluh ribu saja yg sampai kepada kita.

Dan dari beberapa ratus atau puluh ribu dalil yg sampai kepada masa kita tsb, hanya beberapa ratus atau puluh saja yg kita ketahui.
Kemudian dari beberapa ratus atau puluh dalil yg kita ketahui tsb, hanya berapa dalil yg kita fahami maksud yg terkandung dalam dalil tsb..

MAKA betapa naifnya bila ummat yg hidup di masa sekarang ini dlm mensikapi suatu masalah dengan begitu lantangnya mengatakan "
"T I D A K . . A D A . . D A L I L N Y A"
Bagaimana kalau ternyata dalil dari masalah tsb ternyata ada, sementara kita mengatakan tidak ada, apakah dengan begitu kita tidak termasuk ummat yg ingkar terhadap AL-QUR'AN MAUPUN HADITS '????

RENUNGKANLAH.
=========
NB:
Sebagai tambahan pengetahuan dari yg belum Sdr Khalid Basalamah ketahui, berikut ini saya nukilkan dalil tentang mengusap wajah dg telapak tangan seusai sholat atau berdo'a serta dalil membalikkan telapak tangan ketika membaca doa Qunut dan dalil bersalaman setelah sholat yg anda katakan tdk ada satupun dalilnya :

1. MENGUSAP WAJAH SETELAH SHOLAT
قال ابن السني : أخبرنا سلام بن معاذ ، حدثنا حماد بن الحسن بن عنبسة ، حدثنا أبو عمر الحوضي ، حدثنا سلام المدائني ، عن زيد العمي ، عن معاوية بن قرة ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : « كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا... قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ، ثم قال : : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الحزن »

Ibnu Sinny berkata : Bercerita kepadaku salam Bin Mu’adz, dari Hammad bin Hasan Bin ‘Anbasah dari Abu Umar al-Khoudhy dari Salam al-madaa-iny dari Zaid ‘Amy dari Mu’awiyah Bin Qurroh dari Sahabat Anas Bin Malik Ra dia berkata “Adalah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam saat usai sholatnya mengusap dahi dengan tangan kanan beliau seraya berdoa “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan dariku” Majallah albuhuus islaamiyyah 65/360

فائدة ) قال النووي في الأذكار وروينا في كتاب ابن السني عن أنس رضي الله عنه كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح وجهه بيده اليمنى ثم قال أشهد أن لا إله إلا هو الرحمن الرحيم اللهم أذهب عني الهم والحزن اه

FAEDAH
Imam Nawawy berkata dalam kitab Al-Adzkaar :
Aku melihat dalam kitab Imam Ibnu Sinny dari riwayat Sahabat Anas Bin Malik Ra dia berkata “Adalah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam saat usai sholatnya mengusap wajah dengan tangan kanan beliau seraya berdoa “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan dan kegelisahan dariku”
Iaanah atThoolibin I/184

فائدة : روى ابن منصور : أنه كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ثم أمرَّها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته الشريفة وقال : "بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم والحزن والغم ، اللهم بحمدك انصرفت ، وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شرِّ ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا وعذاب الآخرة".

FAEDAH
Ibnu Mansyur meriwayatkan bahwa beliau saat usai sholat mengusap dahi dengan telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada jenggotnya yang muia seraya berdoa “Dengan menyebut asma Allah yang tiada Tuhan selainNya, Yang Mengetahui yang Ghoib dan nyata Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya Allah dengan memujiMu aku berpaling (selesai dari sholat), dengan dosaku aku mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku berlindung kepadaMu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”
Bughyah alMustarsyidiin I/99
.

2. MEMBALIKKAN TANGAN SAAT QUNUT
وَالسُّنَّةُ أَنْ يُشِيرَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إلَى السَّمَاءِ في كل دُعَاءٍ لِرَفْعِ بَلَاءٍ وَبِبَطْنِهِمَا إنْ سَأَلَ شيئا أَيْ تَحْصِيلَهُ لِأَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم اسْتَسْقَى وَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إلَى السَّمَاءِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَقِيسَ بِالِاسْتِسْقَاءِ ما في مَعْنَاهُ

“Yang disunahkan menjadikan punggung kedua telapak tangannya kelangit dalam setiap doa yang mengandung ‘menghilangkan musibah’ dan sunah menjadikan perut kedua telapak tangan saat berdoa ‘mendapatkan sesuatu’ “karena rosulullah Shollallaahu alai wa sallaama memohon siraman (saat sholat istisqo) dan menjadikan punggung kedua telapak tangannya kelangit” (HR Muslim) dan di analogkan terhadap sholat istisqo setiap doa yang mengandung ‘menghilangkan musibah’’.
Asnaa Almathoolib I/293
.
3. BERSALAMAN SETELAH SHOLAT
عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ.(رواه البخارى)

Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).

عَن قلَدَة بن دِعَامَة الدَّوْسِيْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ قلْتُ لاَنَسْ : اَكَانَتِ اْلمُصَافحَة فِى اَصْحَابِ رَسُوْلِ الله, قالَ نَعَمْ.

Artinya dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata : saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya (benar)
Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.
Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.
Imam Muhyidin an-Nawawi
Beliau berkata :

اَنَّ اْلمُصَا فحَة بَعْدَ الصَّلاة وَدُعَاء المُسْلِمِ لآخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِأنْ يَّتقبَلَ الله مِنهُ صَلاتهُ بِقوْلِهِ (تقبَّلَ الله) لاَ يَخفى مَا فِيْهِمَا مِنْ خَيْرٍ كَبِيْرٍ وَزِيَادَةِ تَعَارُفٍ وَتألُفٍ وَسَبَب لِرِبَطِ القلوْبِ وَاِظهَار للْوَحْدَةِ وَالترَابُطِ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينْ.

Artinya : Sesungguhnya mushafahah setelah shalat dan mendoakan saudara muslim supaya shalatnya diterima oleh Allah, dengan ungkapan (semoga Allah menerima shalat anda), adalah di dalamnya terdapat kebaikan yang besar dan menambah kedekatan (antar sesama) dan menjadi sabab eratnya hati dan menampakkan kesatuan antar sesama umat Islam.]