Minggu, 24 Desember 2017

DEFENISI URF

A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata al-'urf (العُرْف) bermakna al-khairu (الخيْر), al-ihsanu (الإحسان), dan ar-rifqu (الرِّفْق), yang semuanya bermakna kebaikan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, al-'urf bermakna :
ما اعْتاد النّاسُ وسارُاوا عليْهِ فِي أُمُورِ حياتِهِمْ ومُعاملاتِهِمْ مِنْ قوْلٍ أوْ فِعْلٍ أوْ ترْكٍ
Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.
Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (العادة), atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu.
Ada juga definisi al-urf yang lain, misalnya :
ما اسْتقرّ فيِ النُّفُوسِ مِنْ جِهّةِ العُقُولِ و تلقّتْهُ الطِّباعُ السّلِيْمةُ بِالقبُولِ
Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat.
3. Antara Urf dengan Adat
Antara Urf dengan adat istiadat ada persamaan namun juga ada perbedaan.
  • Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk. 
  • Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan danmengkonsumsi jenis makanan tertentu.
  • Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak.
  • Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. Urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan.
  • ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya harta bersama, konsinyasi, urbun dan lainnya.
B. Kedudukan Urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan mu’amalah dan selama tidak bertentangan dengan syara'.
Demikian pula ketika syariat menetapkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari nash itu sendiri maupun dari segi penggunaan bahasa.
Seperti ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah,
Demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf shahih khash.
C. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf
Atas dasar itulah para ahli ushul fiqih membuat Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf, antara lain
1. Kaidah Pertama
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum."
2. Kaidah Kedua
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْحُكْمِ بِتَغَيُّرِ الأَمْكِنَةِ وَالأَزْمَانِ
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan tempat dan masa."
3. Kaidah Ketiga
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَظَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ اللُّغَةَ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ
“Setiap ketentuan yang diterangkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada pembatasnya dalam syara da tidak ada juga dalam ketentuan bahasa, maka ketentuan itu dikembalikan kepada ‘urf”
D. Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya
Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat perkataan (qauli) dan yang bersifat perbuatan (amali).
1. Urf Qauli
Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim memiliki makna tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat yang lain yang urfnya berbeda, maknanya bisa saja berbeda.
a. Dirham untuk Uang
Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau menyebut dirham berarti maksudnya adalah uang.
b. Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat
Di masyarakat tertentu makna daabbah (دابة) hanya terbatas pada hewan yang berkaki empat. Padahal secara makna bahasa, daabbah adalah segala hewan yang melata di atas bumi, termasuk ayam, ular dan lainnya.
c. Tha'am dan Burr
Ibnu Abidin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika orang Arab kata tha'am (طعام), maka yang dimaksud bukan sekedar makanan, tetapi burr (بر), yaitu gandum.
Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (تحم) maka yang dimaksud bukan sedekar daging melainkan daging kambing.
d. Dalam Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i. Lafadz sharih adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang searti dan tidak bisa diterjemahkan selain talak.
Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.
Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan cerai.
Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf yang lazim dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka jatuhlah talak kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum jatuh talak.
2. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.
a. Jual Beli Tanpa Lafadz Akad
Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad transaksi yang tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah bersepakat dan saling rela untuk bertransaksi.
Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual berkata,"Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian", lalu pembeli harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli barang ini dengan harga sekian, tunai".
Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang ini, khususnya untuk jual-beli yang ringan nilainya.
Akad jual-beli seperti ini dalam ilmu fiqih muamalat disebut dengan akad mu'athah (معاطاه).
b. Mahar Muqaddam dan Muakhkhar
Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita tidak dikenal, yaitu mahar atau mas kawin dibagi menjadi dua macam, yaitu muqaddam dan muakkhar.
Mahar muqaddam adalah mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar diberikan kemudian.
E. Urf Aam dan Urf Khash
a. 'Urf Aam
Urf 'Aam 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:
مَنْ شَفَعَ لأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَبَى بَابًا عَظِيْمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.
b. 'Urf Khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
F. Urf Shahih dan Urf Fasid
Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan yang fasid.
1. ‘Urf Yang Shahih
‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta akhlaq yang islami.
Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum masa kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan makan, minum dan tempat tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai di dalam syariat Islam.
Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti itu dilestarikan dan tidak dihapus, karena sesuai dengan ajaran Islam.
2. ‘Urf Yang Fasid
Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks syariah dan kaidah-kaidahnya.
Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum khamar, makan riba dan sejenisnya.
Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita.
G. Syarat- ‘Urf Diterima Sebagai Dalil
Agar sebuah urf bisa diterima sebagai dalil dalam pengambilan hukum, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat itu antara lain :
1. Tidak Bertentangan Dengan Nash
Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan dengan nash syariah.
Misalnya kebiasaan buruk di tengah masyarakat untuk melakukan riba dan renten, tentu tidak bisa diterima sebagai ‘urf yang menjadi dalil.
2. Mengandung Maslahat
Syarat ketiga adalah bahwa urf tersebut mengandung banyak maslahat bagi masyarakat.
Misalnya, urf atau kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bahwa penjual dan pembeli tidak harus saling bercakap-cakap secara langsung dalam akad jual-beli. Namun cukup dengan kode atau isyarat saja, asalkan keduanya sama-sama paham dan mengerti serta saling bersepakat, maka hakikat akad jual-beli sudah dianggap sah.
Sebab kalau setiap akad jual-beli harus dilakukan dengan mengucapkan lafadz ijab dan kabul, tentu akan merepotkan. Bayang seorang kasir di mini market yang melayani ratusan pembeli dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli rata-rata 10 item, kita tidak membayangkan bagaimana mulut kasir akan berbusa.
3. Berlaku Pada Orang Banyak
Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti semua orang memang mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
4. Sudah Berlaku Lama
Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara kurun waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-masa sebelumnya dan bukan yang muncul kemudian.
5. Tidak Bertentangan Dengan Syarat Dalam Transaksi

Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi yang sudah baku dalam hukum fiqih muamalat.

Kamis, 14 Desember 2017

DALIL SALAMAN KETIKA SELESAI SHOLAT

JANGAN KATAKAN TIDAK ADA
TERHADAP SESUATU YG BELUM KITA KETAHUI
========================

 pada khususnya yg mengatakan bahwa " mengusap wajah dan membalik telapak tangan ketika Do'a Qunut serta salaman seusai sholat yg katanya tidak ada satupun dalil haditsnya."

Dalam mensikapi DALIL yg belum kita ketahui keberadaannya, alangkah lebih baiknya bila kita katakan saja :

"SAYA BELUM MENEMUKAN DALILNYA."

Saya kira cara ini akan lebih selamat daripada langsung memvonis dengan mengatakan:

"TIDAK ADA DALILNYA"

Karena yg namanya DALIL , terlebih lagi dalil tsb berupa hadits atau atsar dari Shohabat nabi jumlahnya sangat banyak sekali bahkan mencapai jutaan.

Sementara dari sekian juta jumlah DALIL tsb, tinggal berapa ratus atau puluh ribu saja yg sampai kepada kita.

Dan dari beberapa ratus atau puluh ribu dalil yg sampai kepada masa kita tsb, hanya beberapa ratus atau puluh saja yg kita ketahui.
Kemudian dari beberapa ratus atau puluh dalil yg kita ketahui tsb, hanya berapa dalil yg kita fahami maksud yg terkandung dalam dalil tsb..

MAKA betapa naifnya bila ummat yg hidup di masa sekarang ini dlm mensikapi suatu masalah dengan begitu lantangnya mengatakan "
"T I D A K . . A D A . . D A L I L N Y A"
Bagaimana kalau ternyata dalil dari masalah tsb ternyata ada, sementara kita mengatakan tidak ada, apakah dengan begitu kita tidak termasuk ummat yg ingkar terhadap AL-QUR'AN MAUPUN HADITS '????

RENUNGKANLAH.
=========
NB:
Sebagai tambahan pengetahuan dari yg belum Sdr Khalid Basalamah ketahui, berikut ini saya nukilkan dalil tentang mengusap wajah dg telapak tangan seusai sholat atau berdo'a serta dalil membalikkan telapak tangan ketika membaca doa Qunut dan dalil bersalaman setelah sholat yg anda katakan tdk ada satupun dalilnya :

1. MENGUSAP WAJAH SETELAH SHOLAT
قال ابن السني : أخبرنا سلام بن معاذ ، حدثنا حماد بن الحسن بن عنبسة ، حدثنا أبو عمر الحوضي ، حدثنا سلام المدائني ، عن زيد العمي ، عن معاوية بن قرة ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : « كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا... قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ، ثم قال : : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الحزن »

Ibnu Sinny berkata : Bercerita kepadaku salam Bin Mu’adz, dari Hammad bin Hasan Bin ‘Anbasah dari Abu Umar al-Khoudhy dari Salam al-madaa-iny dari Zaid ‘Amy dari Mu’awiyah Bin Qurroh dari Sahabat Anas Bin Malik Ra dia berkata “Adalah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam saat usai sholatnya mengusap dahi dengan tangan kanan beliau seraya berdoa “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan dariku” Majallah albuhuus islaamiyyah 65/360

فائدة ) قال النووي في الأذكار وروينا في كتاب ابن السني عن أنس رضي الله عنه كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح وجهه بيده اليمنى ثم قال أشهد أن لا إله إلا هو الرحمن الرحيم اللهم أذهب عني الهم والحزن اه

FAEDAH
Imam Nawawy berkata dalam kitab Al-Adzkaar :
Aku melihat dalam kitab Imam Ibnu Sinny dari riwayat Sahabat Anas Bin Malik Ra dia berkata “Adalah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam saat usai sholatnya mengusap wajah dengan tangan kanan beliau seraya berdoa “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan dan kegelisahan dariku”
Iaanah atThoolibin I/184

فائدة : روى ابن منصور : أنه كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ثم أمرَّها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته الشريفة وقال : "بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم والحزن والغم ، اللهم بحمدك انصرفت ، وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شرِّ ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا وعذاب الآخرة".

FAEDAH
Ibnu Mansyur meriwayatkan bahwa beliau saat usai sholat mengusap dahi dengan telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada jenggotnya yang muia seraya berdoa “Dengan menyebut asma Allah yang tiada Tuhan selainNya, Yang Mengetahui yang Ghoib dan nyata Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya Allah dengan memujiMu aku berpaling (selesai dari sholat), dengan dosaku aku mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku berlindung kepadaMu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”
Bughyah alMustarsyidiin I/99
.

2. MEMBALIKKAN TANGAN SAAT QUNUT
وَالسُّنَّةُ أَنْ يُشِيرَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إلَى السَّمَاءِ في كل دُعَاءٍ لِرَفْعِ بَلَاءٍ وَبِبَطْنِهِمَا إنْ سَأَلَ شيئا أَيْ تَحْصِيلَهُ لِأَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم اسْتَسْقَى وَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إلَى السَّمَاءِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَقِيسَ بِالِاسْتِسْقَاءِ ما في مَعْنَاهُ

“Yang disunahkan menjadikan punggung kedua telapak tangannya kelangit dalam setiap doa yang mengandung ‘menghilangkan musibah’ dan sunah menjadikan perut kedua telapak tangan saat berdoa ‘mendapatkan sesuatu’ “karena rosulullah Shollallaahu alai wa sallaama memohon siraman (saat sholat istisqo) dan menjadikan punggung kedua telapak tangannya kelangit” (HR Muslim) dan di analogkan terhadap sholat istisqo setiap doa yang mengandung ‘menghilangkan musibah’’.
Asnaa Almathoolib I/293
.
3. BERSALAMAN SETELAH SHOLAT
عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ.(رواه البخارى)

Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).

عَن قلَدَة بن دِعَامَة الدَّوْسِيْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ قلْتُ لاَنَسْ : اَكَانَتِ اْلمُصَافحَة فِى اَصْحَابِ رَسُوْلِ الله, قالَ نَعَمْ.

Artinya dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata : saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya (benar)
Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.
Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.
Imam Muhyidin an-Nawawi
Beliau berkata :

اَنَّ اْلمُصَا فحَة بَعْدَ الصَّلاة وَدُعَاء المُسْلِمِ لآخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِأنْ يَّتقبَلَ الله مِنهُ صَلاتهُ بِقوْلِهِ (تقبَّلَ الله) لاَ يَخفى مَا فِيْهِمَا مِنْ خَيْرٍ كَبِيْرٍ وَزِيَادَةِ تَعَارُفٍ وَتألُفٍ وَسَبَب لِرِبَطِ القلوْبِ وَاِظهَار للْوَحْدَةِ وَالترَابُطِ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينْ.

Artinya : Sesungguhnya mushafahah setelah shalat dan mendoakan saudara muslim supaya shalatnya diterima oleh Allah, dengan ungkapan (semoga Allah menerima shalat anda), adalah di dalamnya terdapat kebaikan yang besar dan menambah kedekatan (antar sesama) dan menjadi sabab eratnya hati dan menampakkan kesatuan antar sesama umat Islam.]

Senin, 20 November 2017

MEMUKUL REBANA

menabuh rebana (dlorbud dufuf) di dalam mesjid

 أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي المَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkanlah pernikahan, dan lakukanlah di masjid, serta (ramaikan) dengan memukul duf (rebana).” (Sunan Turmudzi, no.1089).

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam fatwa beliau yang termuat dalam kitab "Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro" menjelaskan, hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana dalam acara pernikahan didalam masjid, dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. Syekh Al-Muhallab menyatakan bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan didalam masjid apabila tujuannya demi kemanfaatan kaum muslimin dan bermanfaat bagi agama, boleh dikerjakan didalam masjid. Qodhi Iyadh juga menyatakan hal yang sama, beliau menambahkan, selama pekerjaan tersebut tidak merendahkan kemuliaan masjid maka boleh dikerjakan.

Kebolehan di atas dengan batasan selama tidak mengganggu kekhusukan orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah didalam masjid dan dilakukan dengan cara yang tidak sampai merendahkan kemuliaan masjid, jika ketentuan tersebut dilanggar maka hukumnya haram.

Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz : 4 Hal : 356

وفي الترمذي وسنن ابن ماجه عن عائشة - رضي الله تعالى عنها - أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال «أعلنوا هذا النكاح وافعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدف» وفيه إيماء إلى جواز ضرب الدف في المساجد لأجل ذلك فعلى تسليمه يقاس به غيره

Al KISAH

Al kisah

Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah Ibn ‘Abbas RA , beliau berkata, Sayyidina Umar RA telah menceritakan, ketika beliau masuk kerumah Rasulullah SAW beliau menceritakan, “Ketika aku masuk ke rumah Rasulullah SAW maka aku melihat bahwa Rasulullah SAW berada di atas tikarnya (yang terbuat dari pelepah kurma) maka aku duduk diatas hamparan sarung Rasulullah SAW, tiada apapun di bawahnya, hanya tanah dibalik sarung tersebut, maka aku lihat lambung Rasulullah SAW terdapat bekas hamparan tikar tempat beliau tidur, maka tiba-tiba aku pun terkejut, aku melihat ada segenggam/sekitar 1 sho’ gandum (tidak lebih) kemudian aku pun terkejut, hanya terdapat 1 kulit tempat mimum air Rasulullah yang digantungkan (teramat sangat sederhana). Maka tanpa kusadari kedua air mataku pun mengalir…”
Rasulullah pun melihatnya kemudian beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Ibn Khottob?”
Maka saya pun menjawab,“ Wahai Rasulallah, bagaimana aku tidak menangis, tikar ini telah memberikan bekas pada lambungmu wahai Rasulallah, Engkau tidak mempunyai harta apa-apa kecuali yang saya lihat. Sedangkan kita melihat bagaimana raja-raja, kaisar-kaisar yang hidup di istana mereka dikelilingi buah2an segar dan sungai2 jernih yang menyegarkan, sedangkan Engkau Nabi Allah, orang yang disucikan oleh Allah Ta’ala, hanya ini saja yang engkau miliki wahai Nabi Allah?”

Rasulullah pun berkata, “Wahai Ibn Khottob, tidakkah engkau ridha, jika nanti kita mendapat keni’matan di akhirat, sedangkan bagi mereka hanya di dunia saja. Mereka itulah kaum yang disegerakan oleh Allah Ta’ala keni’matannya hanya di dunia, keni’matan sementara, sedangkan kita adalah kaum yang ditunda keni’matan yang didapatkan kelak di akhirat.” (Dinukil dari kitab wa saaili a-wushul ilaa syamaail al-rasul).

وعن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما قال حدثني عمر ابن الخطاب رضي الله عنه قال دخلت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على حصير قال فجلست فاذا عليه ازارو ليس عليه غيره واذا الحصير قداثر في جنبه واذا بقبضة من الشعير نحو الصاع واذا هاب معلق فابتدرت عيناي فقال ما يبكيك يا ابن الخطاب فقلت يا نبي الله ومالي لا ابكى وهذا الحصير قداثر في جنبك وهذه خزائنك لا ارى فيها الا ما ارى وذاك كسرى وقصير في الثمار والانهار وانت نبي الله وصفوته وهذه خزائنه قال يا ابن الخطاب اما ترضى ان تكون لنا الاخرة ولهم الدنيا اولئك قوم عجلت لهم طيباتهم وهي وشيكة الانقطاع وانا قوم اخرت لنا طيبتنا في اخرتنا
(وسائل الوصول الى شمائل الرسول، الفصل الثاني في صفة فراشه صلى الله عليه وسلم وما يناسبه، ص ٤٨ )
Shalluu ‘ala al-Nabiy!

Rabu, 25 Oktober 2017

JENGGOT

Jenggot"

Sebagai muslim jika kita ragu dengan Qaul Ulama, kita tidak boleh langsung mengingkarinya, namun harus mencari dalilnya atau minimal diam karena bukan Ulamanya yang keliru namun kita yang masih bodoh akan ilmu agama. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Umdatussalik :

إذا سمعت كلمات من أهل التصوف والكمال ظاهرها ليس موافقا لشريعة الهدى من الضلال توفق فيها واسأل من الله العليم أن يعلمك مالم تعلم ولا تمل إلى الإنكار الموجب للنكال, لأن بعض كلماتهم مرموزة لاتفهم, وهي فى الحقيقة مطابقة لبطن من بطون القرأن الكريم وحديث النبي الرحيم. فهذا الطريق هوالأسلم القويم, والصراط المستقيم. .

Apabila engkau mendengar beberapa ucapan dari ahli Tashawuf dan ahlul kamal yang mana secara zahir tidak sesuai dengan syariat Nabi yang menyatakan petunjuk dari segala kesesatan, maka bertawaquflah (berdiamlah/jangan berkomentar) engkau padanya dan bermohonlah (berserahlah) kepada Allah Yang Maha Mengetahui agar engkau di beri akan ilmu yang belum engkau mengetahuinya. Janganlah engkau cenderung mengingkarinya yang mengakibatkan memberi kesimpulan yang buruk. Karena sebagian dari pada kalimah atau perkataan mereka itu adalah isyarat yang tidak mudah difahami. Padahal hakikat-isinya itu sesuai dengan batinnya dari pada isi al Quran al Karim, dan haditsnya Nabi yang penyayang. Maka jalan ini lebih selamat sejahtera, dan jalan yang lurus.

Sebagaimana saya singgung sebelumnya bahwa Kyai Said adalah Ulama Tasawuf, maka untuk bisa memahami pernyataan2 Kyai zsaid maka harus menggunakan perspektif ilmu tasawuf, bukan dengan kacamata kebencian.
Dan perlu di garis bawahi bahwa Kyai Said tidak pernah mencela mereka2 yg berjenggot, atau mengolok olok jenggot, tapi beliau hanya sekedar mendudukan persoalan jenggot sesuai pada tempat yg semestinya, yakni kalau orang berjenggot maka hendaknya di imbangi dengan prilaku yang santun, arif dan bijaksana, sehingga antara simbol dan prilakunya ada keselarasan.
Jika ada orang berjenggot tapi suka menebar kebencian, kasar, provokatif, suka mengadu domba dsb, maka hendaknya ia malu dan instrospeksi dengan jenggotnya. Dan orang2 seperti ini yg di sindir oleh Kyai Said, bukan yg lainnya.

JENGGOT DAN KECERDASAN

Dalam kitab Akhbar Al-hamqa wal Mughaffilin Libnil Jauzy disebutkan:

قال عبد الملك بن مروان: من طالت لحيته فهو كوسجٌ في عقله. وقال غيره: من قصرت قامته، وصغرت هامته، وطالت لحيته، فحقيقاً على المسلمين أن يعزوه في عقله. وقال أصحاب الفراسة: إذا كان الرجل طويل القامة واللحية فاحكم عليه بالحمق،
...... الى ان قال ......
وقال بعض الحكماء: موضع العقل الدماغ، وطريق الروح الأنف، وموضع الرعونة طويل اللحية. وعن سعد بن منصور أنه قال: قلت لابن إدريس: أرأيت سلام بن أبي حفصة؟ قال: نعم، رأيته طويل اللحية وكان أحمق.
...... الى ان قال ......
. قال زياد ابن أبيه: ما زادت لحية رجل على قبضته، إلا كان ما زاد فيها نقصاً من عقله.

Abdul Malik bin marwan berkata: Barang Siapa panjang jenggotnya maka ia sedikit akalnya, Ulama lain berkata: Barang siapa yang pendek perawakannya, kecil kepalanya dan panjang jenggotnya Maka jelas bagi muslimin untuk menisbatkan pada akalnya. Ashabul firosah berkata: ketika seseorang tinggi perawakan dan panjang jenggotnya maka bisa dipastikan ia orang yang bodoh.

Sebagian Ahli Hikmah mengatakan: Tempatnya akal itu pada otak, jalan jiwa itu melalui hidung dan tempat kebodohan itu pada panjangnya jenggot. Dan dari sa'd bin Manshur mengatakan: aku berkata kepada ibn idris: Apakah kamu tahu sulam bin abi hafshah? dia menjawab: iya, aku melihat panjang jenggotnya dan dia bodoh.
Ziad berkata: Tidaklah tambah lelaki yang jenggotnya melebihi genggammannya, kecuali hanya tambah kurang akalnya(kecerdasannya)

قال بعض الشعراء: متقارب:
إذا عرضت للفتى لـحـيةٌ

وطالت فصارت إلى سرته
فنقصان عقل الفتى عندنـا

بمقدار ما زاد في لحيتـه

Sebagian penyair berkata dengan Bahar Mutaqarib:
Ketika pemuda mempunyai jenggot lebar dan panjang sampai pusarnya, maka kalnya(kecerdasannya) berkurang seukuran panjang jenggotnya(semakin panjang semakin kurang).

Kesimpulan
1. Apa yg di sampaikan Kyai Said bukan pendapat beliau pribadi, melainkan pendapat para Ulama Salaf terdahulu.
2. Kyai Said tidak pernah mengolok olok jenggot, beliau hanya berusaha mendudukan persoalan jenggot secara proporsional
3. Yang di sindir oleh Kyai Said hanya orang2 yg antara prilaku dan jenggotnya tidak serasi, sebab jenggot menurut Kyai Said adalah simbol kearifan dan spiritualitas seseorang.

Jika masih ada yg salah faham atau pura2 salah faham, maka memang berarti yg bersangkutan tidak sedang mencari kebenaran, tapi mencari cari kesalahan orang.
Orang2 seperti ini adalah orang2 yg di hatinya ada penyakit sebagaimana di sindir oleh Alloh dalam firmannya
في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا

Kamis, 12 Oktober 2017

JARAK TUMIT

Yang sunnah adalah antara dua tumit itu seukuran sejengkal, ketika sujud sunah merenggangkan kedua lutut dan tumit seukuran sejengkal. Wallohu a'lam bis showab. [Ghufron Bkl, Mas Hamzah, Syarwani Ghufron Bkl, Mas Hamzah, Syarwani].

- kitab I'anatuth Tholibin :
اعانة الطالبين : (قوله: ويسن وضع الركبتين أولا) أي قبل وضع الكفين والجبهة، والسنية فيه وفيما بعده من حيث الترتيب، فلا ينافي أن وضع هذه الأعضاء واجب.(قوله: متفرقين) حال من الركبتين.وينبغي أن يكون ذلك في الرجل غير العاري.اه بجيرمي.(قوله: قدر شبر) صفة لمصدر محذوف، أي تفريقا قد شبر، أو حال من مصدر الوصف، أي حال كون ذلك التفريق قدر شبر.والمراد بالشبر: الوسط المعتدل.

(قوله: ثم كفيه) أي ثم وضع كفيه.(قوله: حذو منكبيه) حال من الكفين، أي حال كونهما محاذيين لمنكبيه.أو ظرف لغو متعلق بوضع، أي وضع كفيه في محل محاذ لمنكبيه.(قوله: رافعا ذراعيه) حال من فاعل المصدر المقدر، أي ثم وضع الساجد كفيه حال كونه رافعا إلخ.(قوله: وناشرا) أي لا قابضا.وقوله: مضمومة أي لا مفرجة.

(قوله: ثم جبهته وأنفه) بالجر، عطف على كفيه.أي ثم وضع جبهته وأنفه.وقوله: معا خالف الغزالي في المعية المذكورة وقال: هما كعضو واحد يقدم أيهما شاء.(قوله: وتفريق قدميه) معطوف على وضع، أي ويسن تفريق قدميه قدر شبر.

- kitab Majmu' imam nawawi :

قال الشافعي والأصحاب : يستحب للساجد أن يفرج بين ركبتيه وبين قدميه . قال القاضي أبو الطيب في تعليقه : قال أصحابنا : يكون بين قدميه قدر شبر

- kitab Taqriraatus Sadidah 254 :

یسن فی السجود - الی ان قال - و ان یفرق بین رجلیه بقدر شبر و کذلک بین رکبتیه

Sabtu, 23 September 2017

MASALAH MELETAKKAN TANGAN

Masalah dimana diletakkan kedua tangan itu pada saat berdiri shalat, memang para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat. Setidaknya di dalam pendapat para ulama mazhab empat ada dua posisi yang berbeda.
Pertama di bawah pusar, kedua di antara dada dan pusar, ketiga tangan tidak bersedakep dan lurus saja menjuntai ke bawah.
1. Di bawah Pusar : Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah pusar diantaranya adalah Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. [1]
Imam al-Kasani (w. 587 H) menuliskan dalam kitab Al-Bada'i sebagai berikut :
وأما محل الوضع فما تحت السرة في حق الرجل والصدر في حق المرأة
Adapun tempat bersedekap, adalah dibawah pusar untuk laki-laki dan di dada untuk perempuan.[2]
Al-Khiraqi (w. 334 H) juga menyebutkan tentang posisi tangan di bawah pusar dalam kitab Mukhtasharnya.
ثم يضع يده اليمنى على كوعه اليسرى ويجعلهما تحت سرته
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri, lalu meletakkannya dibawah pusar. [3]
Mereka yang berpendapat seperti ini umumnya berlandasan dengan hadits shahih berikut ini :
مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ اليَمِيْنِ عَلىَ الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra,"Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada praktek shalat Rasulullah SAW, sebagaimana beliau menyaksikannya.
Al-Hanabilah berkata bahwa maksud dari diletakkannya tangan pada bagian bawah pusar untuk menunjukkan kerendahan di hadapan Allah SWT.
2. Antara Pusar dan Dada : Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia.
Al-Muzani (w. 264 H) menyebutkan dalam kitab Mukhtasharnya :
ويرفع يديه إذا كبر حذو منكبيه ويأخذ كوعه الأيسر بكفه اليمنى ويجعلها تحت صدره
Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. [4]
Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) juga menyebutkan bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat yang shahih dan mansush dalam Madzhab Syafi’i. [5]
3. Tangan di Dada?
Kalau merujuk kepada pendapat ulama salaf, khususnya mazhab fiqih yang muktamad dalam ilmu fiqih, nampaknya tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa posisi tangan sewaktu shalat di letakkan di dada.
Pendapat semacam itu baru kita temukan belakangan , di kalangan tokoh-tokoh mutaakkhkhirin, seperti As-Shan’ani, As-Syaukani, Al-Mubarakfuri dan Al-Albani. Mereka ini pada dasarnya bukan ulama fiqih yang mewakili mazhab fiqih tertentu dan hidup di masa yang jauh dari masa salafushshalih.
Ash-Shan'ani dengan kitabnya Subulussalam. Dalam pendapatnya beliau memang lebih cenderung memposisikan tangan di dada. Dan beliau wafat di tahun 1182 hijriyah, ada rentang waktu 12 abad sejak masa Rasulullah SAW.[6]
Asy-Syaukani berpendapat dalam kitab Nailul Autharcenderung memposisikan tangan di dada. Beliau ulama yang wafat tahun 1250 hijriyah, sekitar seabad sesudah Ash-Shan'ani wafat.[7]
Al-Mubarakfuri yang juga memposisikan tangan di dada. Beliau menuliskan pendapatnya itu dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi. Beliau wafat tahun 1352 hijriyah. [8]
Al-Albani : terakhir yang berpendapat bahwa posisi tangan di dada adalah Al-Albani yang wafat di abad sekarang ini, tepatnya tahun 1420 hijriyah. Pendapatnya dituliskan dalam kitab kontroversial, Shifat Shalat Nabi.[9]
Namun sebelum masa mereka, tidak ada ulama yang mengatakan bahwa posisi tangan di dada. Setelah syariah Islam berusia 12 abad di dunia, barulah muncul pendapat yang mengatakan bahwa posisi tangan di dada.
Keliru Dalam Penisbatan
Memang ada kalangan tertentu yang menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi setelah diteliti lebih dalam, ternyata penisbatan itu kurang tepat penisbatan itu.
Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671 H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat. (Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h. 1/ 285).
Ali bin Abu Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin Al-Albani (w. 1420 H) juga menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71.
Penisbatan ini juga tidak tepat, karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/ 552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa meletakkan tangan di atas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) saat shalat hukumnya makruh.

Selasa, 05 September 2017

NIAT SHOLAT

Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullahdalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : ” نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga Kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“selamanya tidak boleh seseorang mengatakandalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
“Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah)”.
Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah Amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertianilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul ‘Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratulihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuanhati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-’Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi’iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..”
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-’Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai”
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)”
Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati”
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
“Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah”.

Dalam kitab Nihayatuz Zain Syarh Qarratu ‘Ain, Al-’Allamah Al-’Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”
Kitab Faidlul Haja ‘alaa Nailur Roja, Al-’Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
” melafadzkan (niat) itu sunnah..”
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
“…(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir…”
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
“niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir”
Al-’Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
“Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya”
Al-’Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi’i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
“qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”
Al-’Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna’ Fiy Alfaadh Abi Syuja’, pada pembahasan “Arkanush shalah” ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was”
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi,Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat”
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) ‘alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu ‘Alan Ash-Shadiqiy mengatakan:
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
“Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya”.

Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi’i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri’ didalam kitab Mu’jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah,mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’ berkata, Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat berkata”
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)”
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
“disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati”
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
“.. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta’kid)”
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudzbinniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukanjenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-’Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta’alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
“dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakanseumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi’/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula”.
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya ‘alaa Syarh Al-Kabir berkata;
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat”
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : “Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.” Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya Amalan-Amalan itu dikerjakandengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah Amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakanatau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat”
[1]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?” Jawab beliau, ” tidak usah”. [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[2] Ada yang mengatakan, “yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama”.
Jawaban : “memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[3] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (NihayatulMuhtaj), Al-’Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu’in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudzbinniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan(talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi’iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi’i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkanmelafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi’i tentang “an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan “an-nuthq (النطق)” adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
“Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi’i berkata didalam (Bab) Haji : “apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi’i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
” dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)”
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu’ (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير
“beberapa shahabat kami berkata : “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dengan kata “an-Nuthq (melafadzkan)” di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)”
Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan “Ashabinaa”, walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi’i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi’i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut – Lebanon ;
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : النِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ مِنَ اعْتِقَادِهِ ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ : لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ حكم النية به لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ بِالْقَلْبِ ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ . فَعَلَى هَذَا لَوْ ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا . فَلَوِ اعْتَقَدَهَا بِقَلْبِهِوَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ، وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ
dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma’rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,
وينوي والنية فرض للصلاة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال لا تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan Kesunnahan melafadzkan niat.